#PDL Menjadi Hakim Anggota

Coba tebak saya yang mana? Hehe.


#PDL adalah Pernah DiLakukan. Pos #PDL merupakan cerita ringan tentang apa saja yang pernah saya lakukan selama ini.

***

Peradilan Semu mungkin terdengar asing di kuping teman-teman mahasiswa/i fakultas lain. Sama juga, PPL bagi mahasiswa/i FKIP pasti asing pula di kuping mahasiwa/i Hukum. Tapi bagi anak hukum, Peradilan Semu sudah mulai bergaung sejak semester awal. Bagaimana tidak? Mahasiswa/i baru mau tidak mau pasti melihat kakak-kakak semesternya berlatih di ruangan khusus berdinding hijau yang disebut Ruang Sidang Peradilan Semu dengan ekspresi wajah tokoh pengacara yang menggebu-gebu kayak pengen terkam dinosaurus. Sayangnya, ruangan tersebut terlalu sempit sehingga Peradilan Semu di kampus kami lebih sering digelar di Aula Fakultas Hukum (Universitas Flores). Yang penting tetap di aula sendiri kan hehe.

Baca Juga : #PDL Blog Travel

Peradilan Semu merupakan salah satu mata kuliah wajib pada Fakultas Hukum yang harus dipenuhi sebagai syarat sebelum mengajukan proposal penelitian (dan skripsi). Tahun lalu, saya dan teman-teman sungguh merasakan letihnya mengumpulkan anggota seangkatan dalam WAG, memilih kasus, menyusun peradilan, makan-makan, latihan, makan-makan lagi, latihan lagi, makan-makan terus, hingga pagelaran. Kok banyak makan-makannya? Semua kerja keras itu terbayarkan. Bukan karena nilainya bagus banget tapi karena proses menuju semakin mengeratkan kami. Arti kebersamaan itu tidak bisa dibayarkan dengan Dollar. Tapi kalau Rupiah, boleh lah *dikeplak sepatu*

Mengumpulkan para pemeran hahaha :D


Kasus yang kami pilih pada tahun 2017 kemarin adalah kasus tentang penganiayaan yang berakibat pada matinya orang. Matinya orang!? Heloooow are you sure? Tidak bisa pakai bahasa yang lebih sopan misalnya meninggalnya manusia? No no no. Kalau ada yang kuliah hukum pasti bakal cekikikan membaca ini. Sama seperti matinya orang, di dalam 'kamus' hukum pun tidak dikenal istilah pernikahan. Kata yang dipakai adalah perkawinan. Jadi, saya hanya bisa senyum-senyum kalau ada teman yang bilang: nikah dulu baru kawin. Karena bagi kami: kawin adalah segala-galanya seperti Perkawinan Beda Agama, Perkawinan Campur (antara WNI dengan WNA), Perkawinan di Bawah Tangan, dan seterusnya.

Sebenarnya kami ingin mengangkat kasus Jessica-Mirna tetapi karena menyusunnya betul-betul luar biasa sulit, sesulit proses aseli pengumpulan bukti hingga tidak adanya pengakuan dari terduga yang kemudian menjadi terpidana, akhirnya kami mengubah kasus.

Kembali pada penganiayaan yang berakibat pada matinya orang ...

Kasus ini, murni disusun sendiri alias bukan menjiplak karya Peradilan Semu sebelumnya, adalah tentang suami yang menganiaya isterinya sampai meninggal dunia. Pada saat rembug tentang kasus ini kami saling silang pendapat tentang pasal apa yang mau dipakai untuk menjerat si suami. Akhirnya dipakai dua pasal untuk mendakwa.

Primair:
Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Subsidair:
Pasal 351 ayat (3) KUHP.

Baca Juga : #PDL I Can Sleep Everywhere

Selain itu kami juga harus memikirkan jumlah anggota dan jumlah tokoh: hakim, jaksa, pengacara, terdakwa, saksi, petugas, Pastor dan Ustadz (untuk sumpah), dan lain sebagainya. Termasuk harus betul-betul memikirkan tentang barang bukti yang akan dipakai.

Makan, makan lagi, lagi-lagi makan.


Proses penyusunan berkas/naskah persidangan membutuhkan waktu yang cukup lama. Semua dilakukan di rumah saya yang kebetulan ruang tamunya lapang. Jadi, kami memasang proyektor yang ditembak ke dinding rumah. Beberapa orang bertugas, tentunya kecepatan mengetik harus setara cahaya, untuk mengetik naskah yang disusun bersama itu. Bayangkan, kami menyusun sepuluh persidangan yang dimulai dari sidang pembacaan dakwaan sampai putusan. Contohnya bisa dilihat seperti pada gambar berikut ini:



Beruntungnya karena seangkatan berasal dari bermacam profesi, jadi banyak ide yang terus berkembang dan bergolak seiring penyusunan naskah Peradilan Semu tersebut. Misalnya John Djenlau yang bekerja di Pengadilan Negeri Ende. Jelas dia bisa memberikan masukan demi kebaikan si naskah. Teman-teman polisi seperti Irmina, Egos, Moat, Benny, dan lain-lain juga sangat membantu terutama tentang pemeriksaan di kantor polisi (pra naskah). Angkatan kami memang paling lengkap hahaha. Ada Edwin Firmansyah dari TNI AD, ada Effie Rere yang bekerja di Kantor Pertanahan, dan lain ragam profesi termasuk yang belum bekerja karena setelah lulus SMA langsung kuliah.

Pada serius menyusun naskah.


Setelah naskah selesai disusun, naskah diserahkan kepada dosen pembimbing Peradilan Semu. Lantas mulailah latihan di ruang hijau itu. Eits, tapi jangan salah, kami juga latihan sendiri di rumah saya, di luar jadwal latihan di kampus yang dikeluarkan oleh dosen hehehe. Soalnya kami sangat bersemangat dan ingin Peradilan Semu ini sukses! Lebih sukses dari angkatan kemarin-kemarin. Karena ruang tamu rumah saya, lagi-lagi, lapang, jadi sangat cukup membantu proses latihan Peradilan Semu.

Baca Juga : #PDL Makam Sunan Gunung Jati

Tatapan mata hakim ... sadis hahaha.


Awalnya bukan saya yang menjadi hakim. Tapi karena satu dan lain hal, akhirnya saya menjadi Hakim Anggota II. Ciyusss? Padahal saya pengen jadi orang di luar persidangan supaya bisa ngerekam video dan foto-foto. Untunglah ada Martozzo Hann si fotografer yang turut membantu mengabadikan Peradilan Semu itu. Menjadi hakim itu paling mudah karena ... errr ... kasih tahu tidak yaaa hehe. Karena hakim bisa membuka-buka berkas di atas meja jadi tidak seberapa harus menghafal dialog demi dialog. Mana pula berkasnya ketutup sama papan keterangan yang gede itu *ngikik*.

Memerankan hakim memang menyenangkan. Tapi memakai jubah hakim merupakan sesuatu yang lain. Ada perasaan bangga gimanaaa gitu qiqiqi. Lebih bangga lagi karena semua dosen hadir dan benar-benar menyimak proses persidangan dari awal sampai akhir. Luar biasa. Tidak akan pernah terlupakan! Karena kami rajin berlatih, Peradilan Semu tahun 2017 itu betul-betul terlihat sangat alami. Dialog-dialog antara hakim, jaksa, pengacara, terdakwa, saksi, berjalan dengan lancar tanpa kendala. Bahasanya pun bukan bahasa sinetron karena kami memang sudah berjanji untuk harus bisa berimprovisasi dengan bahasa sehari-hari yang lebih lugas alias tidak terlalu terpaku pada naskah yang ada, tapi tidak terkesan terlalu santai di dalam ruang sidang.

Keberatan, Yang Mulia!!!!

Sialnya ... sampai sekarang saya belum mengedit video Peradilan Semu itu. Dududu, untung belum ada yang menagih.

Foto Peradilan Semu kami, masuk di bookleat baru Universitas Flores. Yuhuuuu!


Menulis ini, sambil membayangkan Peradilan Semu mulai dari penyusunan naskah hingga pagelaran, bikin kangen. Hehe. Meskipun ada yang lebih dulu diwisuda tahun lalu, dan sisanya tahun ini, tapi kekompakan kami tidak pernah luntur. Kami masih kongkow bareng di rumah saya sambil gitaran dan ngemil. Kami masih saling terhubung lewat WAG. Kami masih saling membantu satu sama lain. Kami adalah keluarga besar. Sampai-sampai ada adik angkatan yang mengatakan bahwa angkatan kami adalah angkatan paling luar biasa kompak sejak semester satu sampai wisuda. Mereka belum tahu saja bahwa komisaris angkatan kami itu tidak pernah diganti dari semester satu sampai wisuda! Iya, setiap kali saya minta diganti, semua pada protes. Kompensasinya kalau saya mengomel ini itu, mereka tidak boleh protes, hahaha.

Baca Juga : #PDL Pondok Batu Biru Penggajawa

Pernah, saya pernah merasakan menjadi Hakim Anggota II meskipun hanya di sebuah ruang sidang Peradilan Semu.

Bagaimana dengan kalian? Ada yang anak hukum? Bagi tahu donk kisah Peradilan Semu-nya hehe.

Life is good ... isn't it?



Cheers.

11 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. Gak punya pengalaman dengan peradilan semu anmun pernah nonton drakor "Solomon's Perjury" sampai tamat episodenya nonstop. Asyik, sih.
    Jadi kayak gitu, ya?
    Pokoknya dalam drakor itu juga meniru persios adegan dan tata cara peradilan sungguhan dalam persidangan.
    Ih, seru banget acara peradilan semu universitasnya. Pasang tampang mupeng, hi hi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihiihi pengen juga nonton filem atau drakor yang ada pengadilan2nya gitu qiqiqiqi nanti cari ah. Btw iya seru ini peradilan semu ... lagak dan gaya kayak hakim beneran :D

      Hapus
  2. Berapa SKS ini kak? atau masuk dalam mata kuliah praktek peradilan atau apa gitu :)

    BalasHapus
  3. Ini membaca tulisan ini, sepertinya menarik sekali kegiatan praktik lapangan ini (apalagi lihat foto dengan caps: Tatapan mata hakim ... sadis hahaha.)

    Selanjutnya saya saya ingin tanya Ine:
    Terdakwanya siapa?

    Biasa (koreksi kalau salah), hakim dan pengacara itu sebelum membela semacam diangkat sumpah di altas alkitab masing-masing agama (benar seperti itu?)

    Jika benar. Pertanyaan selanjutnya tokoh agama yang dihadirkan itu benaran atau boong-boongan ine..?

    Menarik, saya membayangkan seperti bermain drama saja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahah Pak Martin, karena ini Mata Kuliah Peradilan Semu jadi semua yang bermain di dalamnya adalah mahasiswa angkatan dimaksud yang wajib mengikuti mata kuliah ini sebelum pengajuan skripsi :D

      Terdakwanya adalah teman kami, namanya Porto. Di dalam peradilan semu dia disangkakan menyebabkan matinya orang karena penganiayaan (KDRT).

      Kalau di Peradilan Semu, kami tidak diangkat sumpah (hakim, jaksa, pengacara) hehehe.

      Tokoh Agama adalah mahasiswanya juga tetapi benar memakai Injil dan Al Qur'an. Teman saya Stevan, meminjam jubah milik kakaknya yang Pater untuk Peradilan Semu ini.

      Betul Pak Martin. Ini bermain drama. Drama hukum hahaha.

      Hapus
  4. wah emang beda yang udah jadi sarjana hukum :) pengen liat waktu sidangnya cuman bukan sebagai tersangka :)

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak