Nggela Bangkit dan Membangun Kembali


Selasa kemarin adalah hari yang sangat mulia karena diperingati sebagai Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW, Junjungan kita, umat Muslim, yang mulia. Adalah bahagia karena pada hari kelahiran Nabi Muhammad SAW itu saya dan teman-teman yang tergabung dalam kegiatan amal #NggelaKamiLatu akhirnya berangkat menuju Kampung Adat Nggela. Keberangkatan kami ke Kampung Adat Nggela adalah untuk mengantarkan bantuan dalam bentuk Rupiah dan barang dari dua kegiatan serupa yang digelar di Kota Surabaya dan Kota Ende. Alhamdulillah.

Baca Juga : Kami Latu Untuk Miu

Dari Ende rombongan yang terdiri dari satu pick up dan lima sepeda motor berangkat sekitar pukul 10.45 Wita dari perjanjian waktu berangkat pukul 06.00 Wita. Bayangkan pergeseran waktunya jauh beud, haha. Saya malah masih bisa menghabiskan nasi kuning dan kopi susu di pinggir jalan sambil menunggu teman lain supaya berangkatnya beriringan; saya, Violin Kerong, David Mossar, Varis Gella, Carlos, Al, Xela (yang membawa bantuan barang dari Surabaya ke Ende), dan beberapa mahasiswa Prodi Arsitektur lain yang tidak hafal namanya.

Tiba di Kampung Adat Nggela sekitar pukul 13.00 Wita. Perjalanan kurang lebih tiga jam dengan beberapa kali berhenti memang terbilang cukup cepat mengingat jalanan yang dilewati sejak dari cabang Desa Moni (ke Jopu) menuju Nggela itu tidak semulus wajah Cinta Laura dan wajah saya *dikeplak semen*.


Di Kampung Adat Nggela tersebut ada sebuah rumah yang dijadikan posko; menjadi pusat semua bantuan dikumpulkan. Begitu tiba di posko ini kami disambut bapak-bapak mosalaki salah satunya Mosalaki Pu'u (mosalaki utama) Bapak Gabriel Mane dan tokoh masyarakat setempat. Setelah mengobrol sebentar dan melihat puluhan mahasiswa Universitas Flores berkumpul di lapak pasar yang datang bersama dosen Pak Charles dan Ibu Vero, kami memutuskan untuk langsung menyerahkan semua bantuan yang sudah dibawa dari Kota Surabaya (dikirim melalui kapal laut) dan Kota Ende setelah kopi dan teh disuguhkan. Luar biasa ya, kami Orang Ende sudah menganggap kalian saudara apalagi saat kopi sudah tersaji di atas meja. 


Jangan menangis, Bapak ... saya jadi sedih:



Nggela Kami Latu bukan sekadar kiasan. Kami, hanya segelintir orang dari ribuan masyarakat Kabupaten Ende, benar-benar ada dan secara bersama-sama untuk masyarakat Nggela, yang tentu punya harapan sama bahwa musibah kebakaran yang menghanguskan kampung adat tersebut tidak mematahkan semangat masyarakatnya yang kaya akan tradisi dan budaya. Nggela harus bangkit.

Dan Nggela memang sedang bangkit serta membangun kembali. Setelah penyerahan bantuan, kami pergi ke lokasi Kampung Adat Nggela yang hanya berjarak sepuluh meter dari posko. Syaratnya hanya satu: jangan menginjak batu (Kanga) yang ada di sana. Pemandangan yang tersaji sungguh miris. Yang tersisa hanyalah kubur-kubur batu, fondasi-fondasi batu rumah-rumah adat yang menghitam, kamar mandi kecil berbahan semen, serta pohon-pohon lontar yang berdiri gagah.


Terlalap namun bertahan hidup, demikian saya menulis caption saat menggugah foto pohon lontar hangus tersebut ke Facebook. Menurut Pak Mukhlis dosen Arsitektur yang berkonsentrasi pada rumah adat, setiap kampung adat pasti tumbuh pohon lontar, yang bermanfaat sebagai penangkal petir. Akan saya ulas di lain kesempatan.



Rumah-rumah panggung memang sedang dibangun kembali. Tapi itu bukan rumah adatnya, melainkah hanyalah rumah darurat sementara. Untuk membangun kembali rumah-rumah adat, berdasarkan klan masing-masing yang membentuk Kampung Adat Nggela, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, waktu, dan tenaga. Belum lagi ritus-ritusnya yang tentu tidak bisa dilakukan hanya begitu saja. Rumah adat adalah simbol setiap klan yang ada di Kampung Adat Nggela seperti Sa'o (rumah) Ndoja, Sa'o Ria, Sa'o Rore Api, dan sa'o-sa'o lainnya. Rumah-rumah panggung darurat itu dibangun di bagian luar dari fondasi rumah adatnya (di bagian belakangnya).


Selain tertarik dengan pohon lontar dan rumah-rumah panggung darurat yang sedang dibangun, saya tertarik dengan salah satu fondasi rumah adat yang terbakar. Jika dibandingkan dengan fondasi rumah adat lain, fondasi yang rumah adatnya sudah habis ini jauh lebih tinggi dari yang lain. Bisa dilihat di foto berikut:



Fondasi batunya itu besar-besar. Sedangkan untuk rumah adat lainnya, fondasinya sama dengan batu-batu kecil yang mengelilinginya.

Setelah berkeliling, mengambil beberapa foto dan istirahat, saya memutuskan untuk pulang. Adalah pamali, memang, ketika ditahan oleh mosalaki supaya jangan pulang dulu karena mereka telah menyiapkan makan siang (luar biasa memang persaudaraan ini) tapi saya bersikeras untuk pulang. Saya memang harus pulang duluan, karena satu dan lain alasan yang tidak bisa ditulis di sini, meninggalkan teman-teman lain yang masih istirahat. Maaf, ya. But you all already knew that I love you ... all.

Perjalanan pulang ini sangat menarik, dan akan saya bahas di Blog Travel saja hehe. Karena begitu banyak cerita; tentang masjid dan gereja yang berdampingan di Desa Pora, tentang pasar mini tenun ikat di Desa Mbuli, tentang pemandangan memikat di Ekoleta, tentang Lepa Lio Cafe, dan masih banyak cerita lainnya. Tapiiii boleh donk ya bikin kalian iri dengan satu foto pemandangan dari Ekoleta berikut ini hehehe.


Ngiknguk kan pemandangannya?

Pada pos ini, akhirnya, saya pribadi mengucapkan banyak terima kasih untuk semua teman-teman yang telah sama-sama bergerak dalam kegiatan #NggelaKamiLatu serta mengantarkan bantuan tersebut langsung ke posko Peduli Nggela yang ada di Kampung Adat Nggela. Semoga berkah. Semoga Tuhan mendengar do'a dan upaya tulus kita semua. Nggela harus bangkit.



Cheers.

22 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. Foto-fotonya bagus-bagus banget mbak tuteh, menggambarkan keasrian dan kearifan lokal daerah Ende, terus berkaeya yaa... semoga daerah Ende makin maju kedepannya...

    BalasHapus
  2. Ijin share G+ ya mbak...
    Makasih...

    BalasHapus
  3. Pohon lontarnya kok seperti meranggas ya?
    Tiap lihat daerah di Indonesia Timur bawaannya pengen ke sana

    BalasHapus
  4. Mungkin ada yang ada di lupakan..
    Pastilah didalam diantara rumah adat yg terbakar ada tersimpan hasil tenunan yang tidak pernah dikeluarkan dari rumah adat kecuali pada saat tertentu saja...dan pastilah tenunan tsb punya nilai sakral,filosofi dan punya estetika yg luhur...semoga ada yg mampu menyelamatkan nya..amin.

    BalasHapus
  5. Mungkin ada yang ada di lupakan..
    Pastilah didalam diantara rumah adat yg terbakar ada tersimpan hasil tenunan yang tidak pernah dikeluarkan dari rumah adat kecuali pada saat tertentu saja...dan pastilah tenunan tsb punya nilai sakral,filosofi dan punya estetika yg luhur...semoga ada yg mampu menyelamatkan nya..amin.

    BalasHapus
  6. @Kang Maman: Alhamdulillah foto-fotonya bisa mewakili kegiatan masyarakat di sana paska kebakaran. Hehe. Silahkan difollow, Kang

    BalasHapus
  7. @Nasirullah Sitam : iya itu pohon habis kebakaran kan hehehe meranggas kena api saat kebakaran 29 Oktober 2018 yang lalu.

    BalasHapus
  8. @Bang Iskandar Awang Usman: Betul sekali. Beberapa wea (emas) dan barang-barang leluhur lainnya ada yang masih bisa diselamatkan, tapi ada yang tidak. Menurut cerita Stevan, teman dari klan Sa'o Ndoja, begitu.

    BalasHapus
  9. Baru tahu ada kejadian ini, huhu. Semoga lekas pulih kondisi di sana, mereka diberikan ketabahan dan semkga mendapat bantuan yang diperlukan.

    BalasHapus
  10. Wuah pemandangan sawahnya itu indah bangeeet, bikin hati adem liatnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Kak. Adem bangeeet pas ngelihatnya 🤗 pengen kemah berlama-lama di sini ya Kak.

      Hapus
  11. uuuuuuhhhh, foto2nya...bikin pengen berkunjung kesana...semoga makin berkembang dan terfasilitasi masyarakatnya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe cuma pakai HP saja ini fotonya 😁😂 Amin Amin ... semoga 🤗

      Hapus
  12. Walau membutuhkan waktu, biaya dan tenaga semoga pembangunan berjalan lancar dan diberi kekuatan serta ketabahan. Untuk antisipasi hal serupa terulang kembali adakah niat untuk membangun rumah adat yang lebih tahan api?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga, Amin. Itu yang saya kurang tahu, Din, karena pembangunan rumah adat serta bahan-bahan yang digunakan ini kan turun-temurun, bahan yang sama. Resikonya ya begitu hehe 🤗

      Hapus
  13. Mari berbagi, jangan takut tak kembali...hehehe

    BalasHapus
  14. pasti dikenang sepanjang masa, perjuangan ine dkk.

    BalasHapus
  15. Semoga cepat bangkit dan pulih kembali ya setelah terkena musibah

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak