Triplet ~ Part 15



Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.


***


PART 15



~ Riung ~
10 Mei 2015

“Sesungguhnyalah, manusia itu sebatang sungai yang tercemar, dan orang harus jadi sehamparan laut untuk menerima sebatang sungai yang tercemar tanpa ia sendiri jadi najis.” – Goenawan Mohamad.


X-Trail yang pada bagian bawah nomor pelat-nya bertulis ‘M.A.D. Ucup’ (Mira, Atha, Diba, Ucup) tiba di percabangan Ende-Aigela-Bajawa. Diba memelankan laju mesin, memerhatikan kios-kios sederhana yang berderet rapat sepanjang limaratus meter, lantas berhenti di bawah cabang pohon besar yang mengarah ke badan jalan.
“Heh, Orang Jawa ... turun!” teriaknya.
Mono, Farid, dan Bandit terlonjak. Mereka mengucak mata, memerhatikan sekitar, dan bertanya-tanya berada di manakah mereka sekarang.
“Kalian ini pelancong paling aneh. Memangnya ini study tour? Tidur saja kerjanya! Pelancong lain pasti bakal heboh jepret sana, jepret sini, minta turun minta difoto. Kalian ... ngoroook!” omel Diba. “Ayo bangun ... bangun!”
Mono menggeliat. “Capek gilak!”
“Memangnya itu pilot minta kau dorong pesawat dari Jogja ke Ende kah?” balas Diba.
“Idih ... idih ... coba pikir,” balas Mono. “Jam sepuluh malam kami sudah dijemput sama mobil travel, berangkat ke Surabaya. Jam enam check in ... bla bla bla ... tiba di Ende jam dua siang. Tanpa istirahat. Sama tuan rumah yang ‘ramah’ ini kami harus segera berangkat ke Riung. Apa nggak oke itu?” sungutnya.
“Halaaah ...” Diba mengibas tangan. “Sudah sana turun dulu. Kita istirahat di sini. Isi perut dulu. Ntar kita lanjut ke Riung,” dia meloncat turun dari X-Trail.
“Riung masih jauh, Kak?” tanya Bandit. Adik sepupu Mono ini bertubuh kerempeng layaknya bayi kurang gizi. Kondisi fisiknya berbanding terbalik dengan julukan ‘Bandit’ yang disandangnya sejak SMA. Laki-laki bernama asli Handoko ini baru saja meraih gelar Sarjana Teknik. Tak disangka dia diajak Mono pergi ke Pulau Flores. Rencana lama yang akhirnya baru terlaksana.
“Masih,” jawab Diba seraya pergi ke salah satu kios—kios langganannya. “Mama, jagung ada?” dia bertanya.
Pemilik kios, perempuan tua yang mengenakan kaos dan sarung tenun ikat motif Nagekeo, mengangguk. “Masih baru,” katanya sambil membuka panci yang berada di atas tungku (berbahan bakar kayu). Uap panas menerjang udara.
“Hanya di kios ini jagungnya benar-benar baru,” bisik Diba.
“Maksudnya?” tanya Mono, melirik skeptik.
“Di kios lain, kebanyakan jagungnya sudah direbus dari pagi, terus dipanasin lagi, lagi, lagi ... kalau sudah sore begini jagungnya jadi hambar. Manisnya habis diserap sama air rebusan! Kita kayak makan ampas.”
“Ooo.” Bandit dan Farid mengangguk-angguk.
“Ini kios langganan saya,” ujar Diba.
Mereka menghabiskan berbatang-batang jagung, menikmati kopi hasil olahan rumah, dan telur rebus. Satu dua bis, mobil travel, dan sepeda motor menepi. Satu dua penumpang bis berjalan sempoyongan dengan wajah pucat pasi. Pasti mabuk kendaraan. Entah sudah berapa banyak isi perut yang meloncat ke luar. Jalanan lintas Pulau Flores ini lebih banyak kelokannya ketimbang kios tambal bannya.
“Aigela ini semacam check point. Rata-rata semua pengendara dari Ende, Bajawa, atau Mbay, pasti berhenti di sini untuk istirahat. Kekurangannya hanya satu, fasilitas kamar mandi umum sudah rusak,” Diba menunjuk puing terminal.
“Yang penting ada pohon, Dib,” sambar Mono. “Tinggal cooorrr ...”
“Kalau perempuan tinggal cor juga?” tanya Diba sambil mengulum senyum.
“Ya dibuka dulu baru cooor,” balas Mono.
Cor atau crot, sih, Mas?” Bandit bertanya pada Mono. “Atau srot?”
“Punya kamu bunyinya apa?” Mono balas bertanya. Pertanyaannya dijawab Farid dengan, “BLEDUUG!”
“Ha ha ha ...” Diba terbahak. “Bledug! Macam suara es batu!”
“Ha ha ha ...”
Bahasan cor, crot, srot dan bledug ini bersambung pada feses dan aroma kentut. Pemilik kios jagung hanya bisa menelan ludah mendengar obrolan empat orang di depan kiosnya ini—karena tidak paham. Baginya jagung rebus, telur rebus, dan kopi dagangannya laku.
Menjelang pukul 16.00 Diba mengajak ketiga tamunya beranjak menuju Riung.
“... ngomong-ngomong ... sudah lama kalian kenal Ampoi?” tanya Diba. Tangkas dia menghindari jalanan yang berlubang. “Giginya sudah tumbuh?” tanya Diba mengejek teman pelancongnya itu.
“Satu tahun terakhir dan masih ompong,” jawab Mono. “Kamu dan Ampoi kenalan waktu ikutan Aku Cinta Indonesia yang diadain sama Detik itu, ya?”
Yess, you right! Tapi saya tidak satu tim sama Ampoi. Teman satu tim saya namanya Margaret. Perempuan gila. Sudah hampir seluruh Indonesia sudah dia jelajahi. Anehnya si Margaret itu, pelancong lain pasti rajin main media sosial buat cerita-cerita perjalanan mereka, kalau Margaret ... mana mau! HPnya saja masih Nokia yang jaman jebot itu. Dia lebih suka menjual tulisannya ke penerbit atau majalah,” cerita Diba.
“Enak ya, Kak, jadi petualang,” celetuk Bandit dari kursi belakang.
“Enak bingits!” jawab Diba. “Tapi jangan sebut saya petualang. Saya lebih suka disebut pelancong.”
“Kenapa begitu, Kak?” tanya Farid.
“Lebih suka saja,” jawab Diba. “Jadi pelancong itu,” lanjut Diba “memudahkan hidup sendiri. Maksudnya begini ... pelancong itu ibarat lingkaran setan karena ... eh, dia lagi, eh, dia lagi. Punya teman di mana-mana. Ke mana pun tidak susah karena pasti ada teman yang bersedia membantu ... akomodasi, transportasi, bahkan konsumsi pun tidak susah!”
Sepanjang perjalanan dari Aigela menuju Riung, melewati Mbay—ibu kota Kabupaten Nagekeo, mereka mengobrol tentang banyak topik diantaranya peran Mono meningkatkan level pergaulan Diba dan Atha dengan memperkenalkan dan mengajarkan mereka tentang internet, betapa Diba dan Atha tidak pernah terlambat membayar uang kos dan biaya kuliah, termasuk betapa baiknya dua mahasiswa asal Pulau Flores yang rela patungan demi membayar biaya SKS Mono yang tertunggak.
Pukul 18.30 mereka tiba di Riung. Rustam, sahabat masa SMA Diba, menyambut di halaman Nirvana Bungalow.
“Rustaaaaam!”
“Haha. Kau ini. Ayo masuk!” ajak Rustam.
 Rustam, laki-laki berdarah Bugis-Ngada, adalah pemilik Nirvana Bungalow. Dulu Nirvana Bungalow hanya mempunyai empat bungalow untuk tamu dan dua bungalow sederhana di halaman depan untuk sopir. Kini di halaman belakang rumah induk telah berdiri sepuluh bungalow sedangkan bungalow untuk sopir sudah dihancurkan. Diba paling suka konsep bungalow-nya: setengah tembok dicat warna-warna cerah dan dipermanis dengan grafiti pada dinding muka, tempat tidur empuk dan bersih dilengkapi kelambu, dan kamar mandi setengah atap yang juga bersih. Kamar mandi setengah atap ini lah yang paling disukai Diba karena setiap kali mandi dia boleh melihat langit. Hanya saja harus diakui pohon-pohon kelapa yang berdiri di sekitar bungalow membuka kesempatan pada begundal untuk mengintip. Untungnya di Riung hampir tidak ada begundal bersileweran.
“Ooo. Jadi ini Mono yang pernah kau ceritakan itu,” ujar Rustam.
“Iya, Mas,” jawab Mono.
“Hahaha. Jangan panggil Mas. Saya bukan Orang Jawa,” tampik Rustam. “Panggil Rustam saja.”
“Kak Rustam asli orang ... Riung?” tanya Farid. Dia menggunakan ‘Kak’ yang lebih umum.
“Campuran,” jawab Rustam.
“Kalian mau minum apa? Kopi? Teh? Susu? Kopi susu? Atau?” tawar Diba. “Tam, si Bibi Ame masih bekerja di sini?”
“Bibi Ame ada di belakang,” jawab Rustam, lantas membakar sebatang rokok.
“Oke. Hei Orang Jawa, mau minum apa?” ulang Diba.
“Kopi saja, Kak. Seperti yang di Eagala tadi,” pinta Bandit. “Enak sekali kopinya.”
“Aigela, Dit, bukan Eagala,” koreksi Diba lantas menghilang ke dalam rumah.
“Kalian tidur di rumah sini saja. Atau mau tidur di bungalo?” tawar Rustam.
“Kata Diba ... kami boleh tidur di rumah ... sekalian berhemat,” jawab Mono malu-malu.
“Harus itu!” Rustam tertawa.
Bibi Ame datang membawa minuman untuk tamu-tamu dari Yogyakarta ini. Diba duduk selonjor di beranda, menyadarkan punggung ke tembok. Dia hanya bertindak sebagai pendengar dan geli melihat tiga laki-laki asal Yogyakarta terbius oleh cerita Rustam. Kali ini Rustam bercerita tentang dua manta (pari) yang pernah dikejar oleh perahu motor sewaan turis asal Kanada, namun menghilang di lepas pantai kepulauan Riung. “Ternyata waktu mereka kembali ke dermaga Riung ... suasana lagi heboh. Ada dua mayat anak laki-laki ditemukan di antara pohon-pohon bakau.”
“Hiii!” Farid bergidik.
“Ha ha ha.” Diba terbahak. “Kalian ini, sudah jauh-jauh menyeberang laut, masih takut juga sama cerita begituan. Itu hanya dua kejadian yang dikait-kaitkan saja. Mitos. Tipe kalian ini paling mudah dikerjain sama Rustam.”
“Tapi, kan, ngeri juga, Kak,” balas Farid. “Kejadiannya tepat begitu.”
Rustam terkekeh. “Sekarang kalian mandi dulu lah, terus istirahat. Kalau mau nonton teve, silahkan nyalakan sendiri. Mau jalan-jalan keliling juga boleh. Nanti malam kita makan cumi bakar dan cumi asam manis, ya.”
“Asyik!”
“Besok mau ke pulau, Dib?” tanya Rustam.
“Iya, donk. Kasihan orang-orang ini kalau tidak diajak ke pulau. Lusa kami pulang ke Ende ... mereka hanya lima hari di sini ... mau saya ajak ke Danau Kelimutu juga.”
“Oke. Saya hubungi Amin.”
“Hei, ayo minum kopinya! Ini kopi arabika Bajawa itu loh,” ajak Diba.
Mono menghirup kopinya. Dalam hati dia beruntung punya sahabat seperti Diba; tidak hanya murah hati namun juga punya banyak koneksi hampir se-Pulau Flores. Jelas informasi tersebut dia peroleh dari Atha, bukan dari Diba sendiri. Waktu masih kuliah, Atha paling senang bercerita tentang Diba dan pergaulannya.
“Kak Tam,” panggil Bandit.
“Ya?”
“Sudah berapa lama nggak pangkas rambut?”
Rustam tergelak. Jika diurai rambut gimbalnya melewati bokong. Rambut kebanggaannya ini sudah lama tidak tersentuh gunting. “Saya lupa, Dit. Soalnya kalau kena gunting ... kesaktian saya hilang.”
Mata Bandit membulat. “Benar begitu, Kak?”
“Payah!” sungut Diba. “Mau saja kau dibodohi Rustam.”
“Aku juga hampir percaya,” sambar Mono.
“Ya sudah, saya duluan mandi,” pamit Diba. Dia bangkit dari lantai, mengerluarkan perlengkapan mandi, lantas pergi ke kamar mandi. Melintasi ruang tamu dia menyapa gantungan unik di tembok yang menghadap pintu rumah. “Halo, Dreamcatcher!”

xxXXXxx

Dermaga Riung, Desa Nangamese, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada. Dermaga mungil ini jika dipotret dari ujung daratan dengan sudut yang tepat akan menampilkan setapak lurus seakan menyentuh cakrawala. Mengagumkan. Pada hari-hari libur apalagi setelah hari raya keagamaan (Natal dan Idul Fitri) dermaga ini pasti ramai oleh wisatawan. Usai Hari Raya Natal 2013 yang lalu Diba bahkan pernah bertemu satu keluarga besar yang baru akan mengunjungi pulau-pulau ketika hari menuai senja.
Sepanjang perjalanan dari Nirvana Bungalow menuju dermaga, tak henti-hentinya Farid mengoceh.
“Ada masjid!” seru Farid, menunjuk bangunan kecil masjid di sisi kiri jalan. “Sederhana, ya, Kak.”
Rustam mengangguk. “Sederhana tapi ini pusat tempat ibadah umat Muslim di sini,” jawab Rustam.
“Rumah-rumahnya ... unik ... rumah panggung ... tipikal ... hmmm ...”
Rustam menyambar, “tipikal rumah Orang Bugis. Rumah pinggir pantai memang harus rumah panggung. Kalau air laut sedang pasang naik, rumah mereka selamat ... tidak kebanjiran.”
“Daerah pinggir pantai di Pulau Flores ini rata-rata dihuni pendatang dari Sulawesi ya, Kak?”
Rustam membenarkan. “Hampir semua. Di Labuan Bajo, di Riung, di Maumere juga ada ... di ... di mana Dib?”
“Di Wuring, Kelurahan Wolomarang, Kabupaten Sikka. Di Maumere sana,” jawab Diba. Dia lantas menjelaskan tentang masyarakat Wuring yang berasal dari Suku Bugis, Bajo, dan Buton (Sulawesi). “Rumah-rumah mereka, sebagian besar, dibangun di atas laut dangkal. Yaaa mirip lah dengan rumah-rumah yang kita lewati sepanjang jalan tadi, Rid. Hidup mereka bergantung pada sumber daya alam dari laut. Jadi ... ada benarnya lagu itu ... nenek moyangku, Vacso da Gama, orang pelaut!”
“Aku setuju,” sambar Mono. “Kecuali bagian Vasco da Gama itu.”
“Hiih!” Diba gemas.
“Apakah faktor bahasa juga ikut berpengaruh, Kak?” tanya Farid. “Maksudku, apakah para pendatang dari Sulawesi ini selain ikut berpengaruh dalam penyebaran Agama Islam, juga memberi pengaruh yang besar dalam bahasa? Misalnya ada satu atau dua kata dari bahasa mereka yang terserap ke bahasa bahasa setempat?” Farid tahu pertanyaannya bertele-tele.
“Kalau itu, kau tanya ke Diba. Dia yang rajin membaca,” jawab Rustam.
“Iya, Kak?” Farid menatap Diba.
“Pojok Buku di Shadiba’s Corner memuat satu skripsi berjudul Sejarah Penyebaran Aksara Lota Ende dan Penggunaannya Dalam Masyarakat Pesisir Kota Ende. Itu skripsi ditulis sama ... Titiek Arsih dari Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Flores. Tapi karena sering dipinjam sama pelanggan akhirnya saya pindahkan ke ruang kerja.” Diba menghela nafas panjang karena berbicara sambil berjalan kaki cukup membuat nafas ngos-ngosan. “Masyarakat Sulawesi selatan menggunakan dua jenis aksara yaitu Aksara Lontara dan Aksara Serang yang berasal dari Arab dan India. Tapi Aksara Lontara lebih mendominasi setelah peradaban Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada jaman Kerajaan Gowa.”
“Terus, Kak?” kejar Farid. Dia penasaran pada penjelasan Diba.
“Di dalam nasyarakat di Indonesia Timur terdapat suku-suku yang memiliki sistem aksara kuno yang terukir dalam naskah-naskah kuno. Salah satu faktanya adalah pelaut kita sudah mengenal peta untuk berlayar dan telah dicatat oleh Portugis pada Abad Enambelas. Nenek moyang kita benar-benar orang pelaut! Aksara Lontara, disebut begitu karena medianya dulu adalah daun lontar, dan cara membacanya dari kanan ke kiri ... semacam kalau kau mengaji atau baca Al Qur’an itu, Rid. Nah, aksara ini lah yang terserap dalam masyarakat pinggir pantai tempat kapal-kapal dari Sulawesi berlabuh. Di Ende ada dua wilayah besar, Ende bagian Pesisir dan Ende bagian Pedalaman atau Ende Lio ... Aksara Lontara terserap ke dalam kehidupan masyarakat Ende bagian pesisir itu dan disebut dengan Aksara Lota.” Lagi, Diba menghela nafas panjang-panjang.
“Kenapa jadi Lota, Kak? Kenapa tidak Lontar?” kejar Farid.
“Karena lidah Orang Ende memang begitu ha ha ha. Banyak sekali kata yang kehilangan huruf ketika disebut oleh Orang Ende. Lontar jadi Lota, anak jadi ana, bapak jadi bapa ... delapan jadi delapa ... begitulah kami,” jawab Diba.
Farid mengangguk. “Transformasi budaya dan bahasa terjadi di mana-mana.”
“Yoih,” jawab Diba.
Mereka berenam, termasuk Rustam dan Amin (pemilik perahu motor tempel) memasuki areal dermaga. Diba mengusir teman-temannya mengurus perlengkapan yang lain sementara dia ngetem di depan loket karcis. Usai membayar karcis, dia menghampiri perempuan penjual ikan di samping kios penyewaan pelampung.
“Amin mana, Tam?” tanya Diba.
“Lagi bawa barang-barang ke perahu.”
“Air minumnya cukup?”
“Cukuuup.”
Usai membeli ikan yang jumlahnya cukup untuk memberi makan orang sekampung, mereka bergegas menuju ujung dermaga. Semua perlengkapan dinaikkan ke atas perahu: termos nasi, sepuluh botol air mineral berukuran besar, masker snorkel, kaki katak, pelampung (yang mereka sewa dari kios di dekat pos penjualan karcis masuk), dan ikan.
Amin menghidupkan mesin tempel. Suara mesin tempel begitu heboh sehingga untuk bicara pun mereka harus mengeluarkan tenaga ekstra.
“... jadi, kalau mau lihat komodo, ke Pulau Ontoloe, ya?” tanya Mono. Volume suaranya bersaing dengan suara mesin tempel dari perahu yang saat ini membawa mereka menuju Pulau Ontoloe atau Pulau Kelelawar. Rute umum tur Taman Wisata Alam 17 Pulau Riung selalu dimulai dengan Pulau Kelelawar dan berakhir di Pulau Tiga atau Pulau Rutong.
Rustam mengangguk. “Satu-satunya hewan yang paling mudah dilihat di sini hanya kelelawar. Kalau kalian mau lihat komodo, saya tidak berani ambil resiko.”
“Komodonya ada di pulau apa?” tanya Mono.
“Di Pulau Ontoloe juga.”
“Oh! I see,” gumam Mono.
“Dari Pulau Kelelawar kita langsung ke Pulau Tiga ... kalian boleh snorkeling sepuasnya di sana.”
“Kalau semua tujuhbelas pulau ini dikunjungi, bisa berapa hari, Kak?” tanya Farid.
Rusam mengedik bahu. “Belum pernah coba. Hahaha. Biasanya sehari bisa tiga sampai empat pulau. Yang ada ... pengunjung malah lebih suka bersantai di pulau, diving, snorkeling, makan ikan bakar.”
“Kita bakar-bakar ikan yang tadi dibeli di dermaga itu, Kak?” tanya Bandit. Pertanyaan yang tidak perlu karena apa lagi yang dapat mereka bakar sebagai lauk makan siang jika bukan ikan yang dibeli di dermaga tadi?
“Iya. Di Pulau Tiga,” jawab Rustam.
Secara administratif Taman Wisata Alam 17 Pulau Riung terletak di Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografis, dan secara jalur kendaraan, lokasi wisata ini justru lebih dekat dengan Kabupaten Nagekeo. Menurut cerita Rustam sebenarnya ada sekitar tigapuluhan pulau jika dihitung dengan pulau-pulau kecil lainnya.
“Wuiiih!” Mono, Farid, Bandit, takjub. Pulau Kelelawar, sama seperti namanya, dihuni ribuan kelelawar gemuk yang bergelantungan pada batang-batang pohon. Sebagia kelelawar terbang mengitari udara hutan bakau Pulau Kelelawar.
“Luar biasa!” jerit Bandit terkesima. Kameranya terus berbunyi, mengabadikan pemandangan menarik ini. “Nusa Tenggara Timur ini keren. Pulau Komodo, dihuni komodo. Pulau Kelelawar, dihuni kelelawar ... ck ck ck!”
“Kalau Pulau Perawan, Dit?” celetuk Rustam.
“Dihuni perawan!”
Diba terkekeh mendengarnya. Amin terbahak-bahak. Mungkin baru kali ini Amin menemani tamu dengan tingkat norak paling akut. Diba ingat, dia pernah melihat Amin menekuk wajah hingga titik beku saking kesalnya menemani dua pelancong dalam negeri yang bertingkah luar biasa menjengkelkan. Sampai-sampai Amin berbisik pada Diba, “kalau tidak mau basah kena air laut, bulan madunya jangan di pantai, tapi di gurun.” Tapi apa hendak di kata? Dua pelancong menjengkelkan itu adalah teman dari teman dari teman melancong Diba.
“Kalau Pulau Ular, Dit?” tanya Diba lagi. Dia suka menggoda Bandit.
“Dihuni ular, Kak. Hiiii ... jangan sampai deh ada pulau kayak gitu,” Bandit bergidik.
“Loh, Pulau Flores kan disebut Nusa Nipa alias Pulau Ular!” balas Diba bersemangat melihat ketakutan di wajah Bandit.
“Aduuuuh Kak Dibaaaa ...” rengek Bandit, masih bergidik ngeri.
“Ha ha ha ... takut ular nih ye,” ejek Diba. Dia lantas mengeluarkan kaki menyentuh air laut. Dingin yang segar.
“Kita nggak turun, Kak?” tanya Farid. Dia gemas melihat air di tepianh pulau yang jernih.
Rustam menggeleng. “Tidak. Cukup dari perahu saja.”
Puas foto-foto aneka gaya, mulai dari selfie sampai mati gaya, tiga laki-laki asal Yogyakarta ini membanting diri di atas perahu, kelelahan, tapi sambil tertawa puas.
Suara mesin tempel kembali terdengar. Perahu motor kembali melaju. Kali ini berbalik haluan menuju Pulau Tiga.
Sepanjang perjalanan menuju Pulau Tiga Diba, yang sudah kenyang dengan panorama Riung, hanya bisa terkekeh melihat tingkah Mono, Farid, dan Bandit. Mana pula Mono berseru, “saya mau ah tinggal di Flores! Diba, orangtua kamu butuh anak mantu kerempeng macam aku nggak?”
“Kampret!”
“Ha ha ha ...”
Perjalanan sekitar satu jam, setelah melewati Pulau Rutong, mereka tiba di perairan Pulau Tiga. Rustam mengeluarkan masker dan kaki katak. “Yang tidak bisa berenang, ayo dipakai dulu pelampungnya,” tawarnya. “Dib, saya temani mereka snorkeling, kau dan Amin merapat ke pulau.”
“Beres, bos!”
Amin membawa perahu menuju tepi pantai. Diba memerhatikan Mono dan adik-adiknya berenang bebas di perairan Pulau Tiga yang merupakan salah satu spot snorkeling terbaik selain Pulau Rutong. Dia sering melakukannya dan tak pernah bosan; mengagumi sebae anemone tempat tinggal clown fish, terumbu karang aneka bentuk dan warna, mengekori ikan layang-layang yang anggun berenang di bawah kakinya, dan terpukau pada keindahan mawar laut.
“... kemarin ... ada yang kakinya tertusuk bulu babi,” cerita Amin tanpa diminta. Laki-laki berusia jauh lebih muda dari Diba ini memindahkan satu per satu bawaan dari perahu ke bawah pohon.
“Sakit sekaliiii ...” Diba bergidik.
“Iya, Kak. Mana tidak sakit tertusuk duri babi?”
“Terus ... pertolongan pertamanya ...” Diba mengulum senyum, “siapa yang lakukan?”
Wajah Amin bersemu. Dia tersenyum malu-malu. “Saya, Kak.”
Diba tergelak membayangkan Amin mengencingi kaki orang lain. “Kau langsung kencingi dia atau ...?”
“Langsung kencingi atau ditampung dalam gelas plastik sih ... tidak masalah, Kak.”
“Terus?”
“Memaksa tubuh untuk kencing itu yang susah!”
“Ampuuun! Ha ha ha ...”
“Waktu tiba di penginapannya Kak Tam, langsung diolesi campuran kapur dan jeruk nipis ...”
Sambil bercerita mereka menyiapkan api untuk membakar ikan. Ada saja cerita unik yang meluncur dari mulut Amin karena hampir setiap hari dia, dan beberapa pemilik perahu motor lainnya, kebagian jatah mengantar tamu yang menginap di Nirvana Bungalow, atau penginapan lain di Riung.
“... bayangkan, Kak ... seharusnya dia tahu diri tidak meloncat dari perahu. Tubuhnya itu sangat mekar! Sekali loncat, sisa ayunan tubuhnya yang mekar itu bikin perahu oleeeeng ...”
Diba terkekeh. “Namanya juga dia ingin merasakan pengalaman baru.”
“Ada lagi nih, Kak. Minggu lalu saya antar tamu dari Thailand. Haduuuh ... mana saya mengerti bahasa mereka? Bahasa Indonesia saja ada yang tidak saya pahami,” cerita Amin sambil geleng-geleng kepala.
“Mereka tidak bisa bahasa Inggris?”
“Bisa, Kak. Hanya yess atau no.”
“Paraaaaah ...”
“Terpaksa pakai bahasa tubuh lah kami.”
“Tapi ... tamu-tamu setipe yang ngotot macam yang pernah kau ceritakan dulu itu ...”
“Selalu ada. Padahal saya dan Kak Tam sudah jelaskan pada mereka bahwa bintang laut hanya boleh dilihat bukan untuk dibawa pulang.”
“Hmmm. Tidak selamanya keindahan dapat kita miliki, cukup dinikmati saja. Sifat dasar manusia, selalu ingin memiliki. Apa yang bukan hak berani mereka rebut,” ujar Diba sambil menyodok bara api.
“Setuju, Kak!”
Tak lama Rustam muncul di pantai disusul Mono, Farid, dan Bandit.
“Hei!” panggil Diba. “Gantiaaaan bakar ikan sini! Saya mau terjuuun!”
Sementara Diba menyapa sebae anemon, lantas mulai mengekori ikan layang-layang, Rustam mengajak Mono dan adik-adiknya untuk makan siang karena matahari sudah di atas kepala. Lagi pula setelah tubuh berendam air laur, rintihan lambung semakin menjadi.
“Ikannya boleh dihabiskan. Air minumnya, simpan lah dua botol untuk Diba,” anjur Rustam. “Kalian belum pernah lihat Diba berubah jadi apa kalau kehausan kan?”
Amin terkikik.
“Memangnya Kak Diba berubah jadi apa, Kak?” tanya Bandit lugu.
“Ubur-ubur.”
“Ha?”
“Dia bakal sengat kau sampai kau lupa PIN ATM.”
“Ha ha ha ...”
Hari ini pekerjaan yang mereka lakukan hanyalah berenang, snorkeling, makan, tiduran di pasir putih, kembali berenang ... terus berulang hingga senja bertamu. Menyaksikan senja dari Pulau Tiga membuat Mono, Farid, dan Bandit, benar-benar ingin bermigrasi dari Yogyakarta ke Pulau Flores.


***
Bersambung

2 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. Iiih serem bacanya sist apalagi ada bleduknya pasti kedenger sakampung kalau ada bleduk hihi.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak