Triplet ~ Part 3


Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.

***

PART 3


Sejak kembali ke rumah ini dia merasa asing. Baba (panggilan untuk Bapak dalam bahasa Ende) yang sekarang tidak seperti Baba yang dulu. Baba menolak ketika dia meminta dibelikan motor matic keluaran terbaru dengan alasan X-Trail lebih sering menganggur di garasi. Dari semua permintaannya setelah kembali ke rumah ini hanya tiket pulang-pergi ke Bali yang berhasil dia kantongi. Itupun setelah proses perdebatan yang panjang. Nampaknya impian untuk mendapat kuasa atas tigabelas perahu motor akan kandas. Dia pernah satu kali gagal—tepatnya dua minggu lalu—dan berdoa semoga kali ini Dewi Fortuna berpihak padanya.
Dia ingat omongan Wawan, kekasihnya. “Coba lagi, Nduk. Mungkin waktu itu Baba-mu lagi banyak pikiran, mungkin juga lagi emosi. Jangan nyerah!”
Dan kesempatan itu datang malam ini; usai makan malam Baba bersantai di beranda belakang—ritual setiap malam. Ine pun tidak kelihatan; kalau tidak menonton sinetron di ruang keluarga, pasti sedang mengisi tabel kredit dan debet dalam buku keuangan sebelum penghasilan perahu motor disetor di bank. Ucup, yang biasanya menemani Baba bersantai di beranda belakang pamit pergi nongkrong di Bete Minicafe bersama teman-temannya. Hampir setiap selesai makan malam Atha segera masuk kamar; kelelahan—enerjinya terkuras untuk menolong orang-orang yang dirundung galau. Diba, tidak perlu dikuatirkan, memang jarang berada dan makan di rumah. Diba punya rumah sendiri yang lebih nyaman; Shadiba’s Corner.
Suasana aman. Waktu yang tepat untuk beraksi. Dia pergi ke beranda belakang.
Satu jam lamanya dia berusaha meyakinkan Baba bahwa melepaskan tigabelas perahu motor untuk dirinya seorang bukanlah tindakan kriminal.
“Mereka semua kan sudah mapan, Baba ...”
“Mira ... coba kau pikir baik-baik. Tigabelas perahu motor itu milik kalian berempat. Ingatlah mereka sebagai saudari dan saudara kau, bukan sebagai manusia yang hidupnya sudah mapan.”
“Tapi, Baba ...”
“Tidak, Mira. Tidak..”
“Baba kejam ...”
“Kalau kau bilang Baba kejam, coba kau ingat lagi, Mira. Sejak kau lahir, sekolah, menikah—dan ... sikap Baba yang mana yang bisa dibilang kejam?”
Mira bungkam. Matanya panas. Dia seakan sedang berhadapan dengan makhluk dari planet terluar Galaksi Bima Sakti. Ke mana kah Baba yang dulu; yang selalu membelikan gaun-gaun cantik incarannya di Toko Pasific; yang pasti mengiyakan setiap kali dia minta dibelikan sepatu baru; yang selalu mengijinkannya pergi ke pesta ulangtahun teman SMP dan SMA; yang pasti merogoh kantong kemeja koko jika dia meminta tambahan uang jajan? Baba berubah.
Sama seperti Mira; hati laki-laki yang dia panggil Baba ini pun sedang bertanya-tanya; mengapa Mira tidak pernah berubah? Seharusnya sebagai yang paling tua, dia menjadi contoh untuk yang lain. Tidakkah Mira punya rasa malu atas semua perbuatannya selama ini? Tidakkah Mira punya keinginan untuk bertobat?
Senyap ...

***
Bersambung.

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak