#PDL Ngeta, Jagung, Sambal



#PDL adalah Pernah Dilakukan. Tulisan ringan tentang apa saja yang pernah saya lakukan selama ini, terutama tentang perjalanan ke tempat-tempat di Pulau Flores dan di luar Kota Ende.   

***

Pernahkah kalian pergi ke suatu tempat wisata tapi justru lebih suka duduk manis nongkrong bersama penduduk setempat? Kalau saya, bukan pernah lagi, tapi selalu! Selalu begitu. Begitu selalu yang saya lakukan. Karena perjalanan bukan tentang tempat wisatanya sendiri, melainkan tentang proses menuju, interaksi kita dengan penduduk lokal di sekitar tempat wisata, dan melihat-lihat potensi wisata lain dari atraksi wisata utamanya. Mendengar langsung kisah tempat wisata dari tutur penduduk asli (bukan dari koran, majalah, situs, televisi) adalah harta karun para pejalan. Pengalaman ini sungguh tidak tertakar Dollar. Jika milyaran tulisan tentang Danau Kelimutu tersedia di internet, kenapa kita tidak menulis tentang penduduk lokal yang menjaja makanan di sekitar Tugu Danau Kelimutu saja? Bukankah ada kisah menarik alasan mereka berjualan di sana? Atau, kenapa tidak coba menulis soal Jala Ndai, Pere Konde, dan Konde Ratu?

Saya sudah sering pergi ke Kampung Adat Bena yang kesohor itu. Karena sudah sering ke sana, ketika pergi bersama Akim, Effie, dan Thika, berfoto dari puncak perkampungan (dataran tertinggi) bukanlah pengalaman yang harus saya buru. Sudah bosan kali ya. Oleh karena itu, sembari menunggu mereka pergi ke puncak perkampungan, saya duduk mengaso di salah satu rumah penduduk sambil bercerita dan menikmati secangkir kopi Bajawa. Gratis. Dari obrolan bersama penduduk lokal itu saya jadi tahu tentang kehidupan mereka, bagaimana toleransi antar umat beragama di situ, pembagian pajak masuknya, sampai tentang pendapat mereka tentang politik!

Saya pernah diajak makan siang gratis oleh Mama Munah, koordinator pengungsi korban erupsi Gunung Rokatenda. Makan siang di bawah pohon, tepi pantai, ada ikan bakarnya, disuguhi pula secangkir kopi, bikin hidup terasa bak surga. Dari situ saya memperoleh banyak informasi tentang kehidupan para pengungsi di Pulau Palu'e, sebelum Gunung Rokatenda erupsi. Misalnya, salah satu sumber air bersih mereka berasal dari penyulingan menggunakan bambu.

Minggu kemarin dua kali saya pergi ke Kampung Kolibari karena pengen lihat suasana kampung itu setelah Bukit Kezimara dibuka untuk titik hulu terbang paragliding. Alih-alih mendaki Bukit Kezimara, saya memilih duduk mengaso di depan rumah Kakak Ibrahim dan Aminah. Kalau ke Kampung Kolibari saya tinggal pilih mau duduk mengaso di mana karena semua rumah yang ada di sana adalah keluarga besarnya Sampeth. Kembali ke rumah Kakak Ibrahim dan Aminah tadi, sebelumnya sudah janjian minta Aminah menyiapkan mi instan (kebetulan Minggu, cheating day). Yang tidak saya ketahui adalah Aminah malah menyiapkan jagung goreng, ngeta (sejenis urap), dan sambal, juga ikan tunu, yang bikin lidah bergetar. Sederhana tapi nancap di jantung. Sambil duduk mengaso, kami mengobrol ini-itu, macam-macam, rupa-rupa. Sumpah, ngetanya itu loh, enak banget!

Beberapa pengunjung yang kelelahan setelah turun dari Bukit Kezimara memilih beristirahat sejenak di situ. Kakak Ibrahim dan Aminah melayani mereka dengan tulus, bahkan biarpun pengunjung tidak membeli dagangan yang ada, mereka menyajikan air putih dan menawari jagung serta ngeta yang ada di atas meja. Ketulusan hati mereka luar biasa. Nah, dari obrolan Kakak Ibrahim dengan pengunjung yang beristirahat itu saya jadi tahu banyak hal tentang Bukit Kezimara dan bagaimana perjuangan masyarakat untuk mendukung tempat mereka sebagai tempat wisata yang ramai. Selain selama ini diceritakan sama Sampeth.

Satu hal lagi yang ingin saya ceritakan pada kalian adalah tentang perempuan-perempuan tangguh Kolibari. Beberapa hari terakhir saya lihat di ranah Facebook sebuah video yang di-pos oleh Denaihati Network tentang perempuan-perempuan yang naik gunung batu sambil menggendong anak (saya tidak tahu lokasinya, mungkin di China). Perasaan jadi ser ser ser ngelihatnya. Saya jadi ingat sama perempuan-perempuan di Kolibari. Dulu di Bukit Kezimara belum ada tangga. Hanya ada jalan tikus yang sempit dan licin. Bisa kalian bayangkan kita yang hanya membawa tubuh saja minta ampun setengah mati pata Allah SWT. Bagaimana dengan mereka yang naik-turun Bukit Kezimara sambil mengusung keranjang berisi dagangan yang dijual di puncak? Bagaimana dengan perempuan-perempuan yang mencari kayu bakar di bukit, lantas membawa ikatan kayu bakar di kepala sambil naik turun gunung? Ikatan kayu bakarnya besar! Bayangkan saja beratnya. Ck ck ck. Awak takkan sanggup laaa.

Kembali pada #PDL pada postingan ini. Saya hanya mau bilang; pernah, saya pernah begitu, menikmati sisi lain tempat wisata, cara kita mengetahui rahasia-rahasia tempat wisata yang tidak ramai terekspos.
Bagaimana dengan kalian?


Cheers!

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak