Triplet ~ Part 1


Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.

***

PART 1




Ceritakan padaku,
tentang cinta,
dan hati yang pernah ...
hatimu melabuh.



~ Ende ~
15 Desember 2014

“It is only as we develop others that we permanently succeed.” – Harvey S. Firestone.

Salah satu nasihat Ali Bin Abi Thalib—termasuk dalam golongan pertama pemeluk Islam, saudara sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW yangmana dia menikahi Fatimah az-Zahra—berbunyi: “Kekayaan seorang bakhil akan turun kepada ahli warisnya atau ke angin. Tidak ada yang lebih terpencil dari pada seorang bakhil.” Penjelasan paling hakiki nasihat laki-laki yang pernah menjabat sebagai Khalifah pada tahun 656 – 661 tersebut tercantum di dalam Surat Ali ‘Imran 180: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Bagi Shadiba Pua Saleh—penggemar berat Ali Bin Abi Thalib yang selalu membayangan dirinya hidup di jaman Nabi Muhammad SAW—harta yang berbukit-bukit bukan semata-mata serupa emas, perak, titanium, atau uang. Buktinya banyak orang tidur di atas tumpukkan uang namun miskin kasih. Pengetahuan, informasi, adalah kekayaan yang sesungguhnya karena melalui pengetahuan manusia boleh bertindak untuk memperoleh harta. Manusia yang tidak berpengetahuan niscaya mustahil mampu melakukan perbuatan paling mudah sekalipun. Mengeluarkan upil dari lobang hidung ... misalnya. Namun, apa gunanya pengetahuan jika hanya mampu mengenyangkan diri sendiri?
Diba bersyukur dalam perjalanan hidupnya dia boleh berkenalan dengan manusia-manusia hebat yang tidak butuh penghargaan karena telah berbagi pengetahuan. Penghargaan dan gelar yang mereka terima diberikan oleh manusia lain, bahkan setelah waktu berlari sangat jauh dari masa kejayaan mereka, dalam ungkapan terima kasih. Ibnu Sina membagi pengetahuannya lewat salah satu buku berjudul Qanun fi Thib (Canon of Medicine). Bapak Kedokteran Moderen, George Sarton, menyebut Ibnu Sina sebagai “Ilmuwan yang paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu.” Manusia jaman moderen patut berterima kasih kepada Charles Babbage, pelopor komputer asal Inggris, atas jasa-jasanya sehingga setelah melalui evolusi panjang boleh menenteng laptop dan bekerja sembari ngopi-ngopi-manis manja di kafe. Dan jika manusia jaman moderen berterima kasih pada Alexander Graham Bell yang konon dikenal sebagai penemu telepon maka sejarah mencatat Antonio Santi Giuseppe Meucci yang telah menciptakan telepon pada tahun 1849 lantas mematenkan hasil karyanya pada tahun 1871. Pada masa kekinian evolusi temuan Meucci mengantar manusia moderen berkenalan dengan gadget—benda berteknologi canggih idaman umat.
Manusia-manusia hebat yang membagi pengetahuan kepada dunia itu menginspirasi Diba untuk tidak menggenggam erat pengetahuan dan informasi yang diperolehnya, diketahuinya, dipahaminya, dari banyak narasumber. Lewat berbagai cara dia rela merepotkan diri sendiri untuk berbagi informasi. Baginya, manusia bakhil justru merugi.
Adalah Indonesian ICT Partnership Association, atau ICT Watch, yang telah menggandeng netizen dari seluruh Indonesia (diantaranya para blogger) demi memberi pemahaman mendalam tentang media baru yang disebut internet. Bagaimana caranya manusia menggunakan internet dengan baik. Tulisan Donny B.U. dari ICT Watch berbunyi: “Pengakuan dan pujian diberikan oleh sejumlah peneliti dan aktifis bidang ICT (Information and Communication Technology) sesaat ketika saya usai memaparkan presentasi tentang penelitian perkembangan pemanfaatan media baru (Internet) dan kaitannya dengan kebebasan berekspresi di Indonesia. Salah satu poin yang saya paparkan adalah gerakan advokasi Internet Sehat Versi Rakyat (http://www.internetsehat.org) yang pro pada kebebasan berekspresi di Internet secara aman dan bijak, dengan pendekatan self-cencorship dan pemberdayaan masyarakat.”
ICT Watch mengajak pula Komunitas Blogger NTT, Flobamora Community, untuk memahami konsep Internet Sehat. Diba sering diutus oleh Flobamora Community untuk mengikuti focus group disscusion dan workshop yang diselenggarakan oleh ICT Watch di Jakarta—pengutusan ini berkaitan erat dengan julukan untuk Diba, si Kaki Kereta, si tukang jalan, si pelancong, dimana waktu kerjanya fleksibel dan finansial yang mumpuni. Dari kegiatan-kegiatan diskusi dan sharing tersebut dia memperoleh banyak pengetahuan tentang Internet Sehat Versi Rakyat yang disebut inspiratif karena program advokasi kepada publik dilakukan dengan menggunakan sejumlah media baru (Facebook, blog, crowdvine) digabungkan dengan kegiatan-kegiatan offline seperti workshop dan seminar, dan juga dilengkapi dengan ketersediaan booklet panduan dalam bentuk hardcopy dan softcopy, merchandise, hingga lomba blog sehat untuk meningkatkan awareness publik.
Untuk membagi kembali informasi yang diperoleh dari ICT Watch, Diba sering mengajak teman-teman komunitasnya berdiskusi. Pada akhirnya dia justru sering diundang oleh lembaga pendidikan untuk memaparkan materi tentang internet, dan tetek-bengek yang berkaitan dengan media baru tersebut. Sekali lagi, demi kemajuan intelejensia banyak orang, dia rela merepotkan diri sendiri. Seperti hari ini, dia berdiri di depan ratusan audiens yang sejak tadi—sepertinya—terbius pada paparan materinya tentang penggunaan internet secara sehat.
“... dari buku Linimassa, Pengetahuan Adalah Kekuatan, saya mengutip tulisan Anggara Suwahju ... Pertama, pengguna internet harus jujur dan adil dalam mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Kedua, pengguna internet memperlakukan sumber informasi sebagai manusia yang harus mendapatkan penghormatan. Ketiga, pengguna internet harus dapat terbuka dan bertanggung jawab. Itu syarat mutlak jika kalian tidak mau terseret jejaring hukum karena salah kaprah menggunakan internet sebagai tempat menganiaya nama baik orang lain lewat ... status Facebook contohnya,” tandas Diba usai menjawab pertanyaan Markus Rerio dari Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia.
“Baik, terima kasih Ibu Diba,” ujar Firman, sekretaris Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Flores, yang bertindak sebagai moderator. “Sebelum istirahat, kita akan buka sesi tanya jawab kedua ... untuk dua penanya. Silahkan.”
Seorang mahasiswa berdiri. “Nama saya Adolf dari Program Studi Ilmu Hukum. Dari tadi Ibu sudah menjelaskan tentang konsep internet sehat. Bagaimana kita dapat memanfaatkan media sosial untuk tujuan yang lebih positif dan mulia dari pada menggunakan Facebook untuk menghina kampus lain, saling memaki, dan lain-lain. Dalam salah satu penjelasan ibu tentang internet sehat, dikatakan bahwa banyak kaum muda di Indonesia yang telah sukses melakukan kegiatan-kegiatan positif di dunia nyata tapi dalam merintis kegiatan tersebut mereka menggunakan internet atau melalui jalur dunia maya. Mungkin ... Ibu dapat menjelaskan kepada kami contoh dari penjelasan tersebut. Terima kasih.” Adolf mengakhiri pertanyaannya dengan helaan nafas panjang.
Diba terkekeh. “Terima kasih untuk pertanyaannya, Adoi.”
“Adolf, Bu.”
“Ya, Adolf. Maaf saya salah menyebut nama saudara. Kita sama-sama belajar hukum, ya ... Anyhoo, apa kalian sudah pernah mendengar Gerakan Satu Mug Beras untuk pengungsi korban erupsi Gunung Rokatenda?” tanya Diba.
Audiens yang memenuhi Aula Kampus II Universitas Flores menggeleng. Diba menyayangkan hal ini karena gerakan tersebut justru terkenal dalam skala nasional. Kadang-kadang pepatah ‘semut di seberang lautan tampak tetapi gajah di pelupuk mata tak tampak’ benar adanya. Mendadak salah satu audiens mengangkat tangan.
“Ya!” Diba memberi ijin.
“Nama saya Kharisma Agung dari Program Studi Sastra Inggris. Yang saya pernah dengar, gerakan itu dilakukan oleh anak-anak muda NTT dari komunitas yang berbasis di Kota Ende, Bu!”
“Tepat sekali! Terima kasih!” Diba mengangguk. “Saya salah satu anggota Flobamora Community dan jelas ... saya tahu semua pergerakan komunitas itu.”
 Diba melanjutkan. “Gerakan Satu Mug Beras, untuk pengungsi Rokatenda, merupakan salah satu indikator yang menunjukkan bahwa kita semua dapat melakukan perbuatan-kecil-dan-terlihat-mustahil-terwujud untuk menolong orang lain tanpa embel-embel mengkritik kinerja pemerintah. Gerakan ini, seperti namanya, mengumpulkan satu mug beras, yang kemudian menjadi berkarung-karung beras, dilakukan melalui kampanye di dunia maya. Efek dari pengulangan kampanye di dunia maya ini luar biasa. Hasilnya, setiap minggu berkarung-karung beras dan kebutuhan pokok lainnya diantar ke lokasi para pengungsi yang berasal dari Pulau Palu’e itu. Dan terpenting, gerakan yang dilakukan oleh teman-teman dari Komunitas Blogger NTT atau Flobamora Community itu membuka mata kita semua bahwa teknologi internet dapat menjadi mata pisau yang tajam untuk mempengaruhi onliners atau orang-orang yang sedang online di internet seperti Facebook atau Twitter.
Tapi jauh sebelum Flobamora Community bergerak dengan Satu Mug Beras, teman-teman di wilayah lain Indonesia telah lebih dulu melakukannya lewat Jalin Merapi, yaitu menginformasikan kondisi daerah bencana dan pengungsi melalui media sosial sepeti Twitter dan Facebook untuk menjaring bantuan riil, baik itu bantuan dalam bentuk barang maupun tenaga dari para sukarelawan. Ada juga Blood For Life, dan lain-lain gerakan. Bagaimana, Adolf ... sudah paham?” tanya Diba.
“Sudah, Ibu. Terima kasih,” sahut Adolf, lantas mencoret-coret catatannya.
Kali ini tangan mahasiswi yang duduk di pojok kanan teracung. “Nama saya Debi, dari Program Studi Sejarah. Saya ingin tahu pendapat Ibu tentang Relawan Pecinta Taman Bung Karno Ende. Apakah mereka juga dapat dikelompokkan seperti Flobamora Community? Menurut informasi yang saya dengar, kegiatan mereka hanya menjual PIN Relawan, dan hasilnya dipakai untuk mengurus keasrian taman saja. Apa imbas paling nyata dari Relawan Pecinta Taman Bung Karno bagi masyarakat Kota Ende? Demikian pertanyaan saya, terima kasih.”
“Apakah Deba sudah berkenalan dengan dua penggagas Relawan Pecinta Taman Bung Karno?” tanya Diba.
“Nama saya Debi, Bu, bukan Deba. Saya memang belum bertemu langsung dengan dua penggagasnya, Bu,” Debi mengulum senyum. Ternyata Diba mengidap short-memory-syndrom pada nama orang.
“Maaf, ya, saya salah menyebut nama Debi. Baik ... kenapa tidak berkenalan saja? Dua penggagasnya adalah Dewi Sahrian dan Mukhlis A. Mukhtar. Pak Mukhlis itu kan dosen di Program Studi Teknik Arsitektur. Tanyakan pada beliau apa saja yang sudah dilakukan oleh Relawan Pecinta Taman Bung Karno Ende. Tapi kalau boleh saya menjelaskan ... Relawan Pecinta Taman Bung Karno adalah salah satu indikator bahwa kaum muda Ende punya kepedulian yang sangat besar dan apresiasi yang sangat tinggi terhadap Proklamator Indonesia. Selain membantu menjaga taman kota, mereka juga melakukan kegiatan-kegiatan lain yang merupakan program setiap divisi. Sebut saja, Divisi Peduli Pendidikan yang dikoordinir oleh David Mossar ... tahun depan mereka akan mengantar bantuan berupa meja, kursi, papan tulis, dan perlengkapan sekolah untuk SD Ratenggoji yang berada dalam wilayah Kecamatan Lepembusu-Kelisoke. Mereka juga telah menyediakan seratus payung yang akan dibagikan kepada para pedagang papa lele (istilah untuk pedagang kaki lima) di Pasar Wolowona, Pasar Mbongawani, dan Pasar Potulando. Apakah bantuan yang mereka dapatkan hanya diperoleh hanya melalui mulutgram saja? Tentu tidak. Mereka memanfaatkan internet untuk penyebaran informasi sehingga bantuan yang datang tidak hanya dari masyarakat Kota Ende saja tetapi juga dari luar Pulau Flores.
Imbas paling nyata ...
Taman kota atau Taman Bung Karno menjadi ruang publik yang dimanfaatkan oleh masyarakat kita dengan baik. Saya sering melihat anak sekolahan belajar kelompok di sana, ada juga yang duduk-duduk sambil membaca atau mengaji. Kadang saya bertemu satu keluarga besar yang memilih untuk makan siang di taman. Itu imbas paling nyata dari kita menjaga keasrian taman kota, juga kebersihannya ... karena ... secara logika siapa sih yang mau bersantai-santai di atas tumpukan sampah atau berpanas-panas di taman yang tidak ada pohonnya sama sekali? Coba bayangkan bagaimana mungkin satu keluarga besar yang sedang piknik bisa menikmati bekal piknik mereka di samping tumpukan sampah?
Imbas paling nyata yang lain dari Relawan Pecinta Taman Bung Karno ... pada akhirnya nanti murid-murid SD Ratenggoji akan belajar sambil duduk di kursi yang layak, menulis di atas meja yang layak, dan guru-guru mengajar menggunakan alat bantu yaitu papan tulis yang juga layak. Meskipun kondisi bangunan sekolah mereka sangat jauh dari layak.
Bagaimana, Debi ... sudah paham?”
“Sudah, Ibu. Tapi, Ibu ...”
“Ya?” Diba menunggu.
“Kerusakan yang terjadi di Taman Bung Karno itu fakta terjadi dari tahun ke tahun. Rumput-rumput meranggas, fasilitas penerangan dicuri, kamar mandi tidak terawat, pompa airnya pun sudah tidak ada. Di mana peran relawan itu dalam kasus-kasus ini?”
“Perlu diketahui pengertian relawan. Relawan atau volunteer mulai dikembangkan pata tahun 1755 oleh orang Perancis bernama Voluntaire ketika memberi pelayanan kepada tentara yang sedang berperang. Tugasnya adalah mengabdi secara ikhlas terkait kegiatan altruistik untuk mendorong, memperbaiki, dan meningkatkan kualitas kehidupan di bidang sosial, budaya, ekonomi. Relawan hadir membantu tidak dilandasi motif mencari keuntungan ekonomi dan posisi politik, namun lebih berupa kepedulian, komitmen, serta tanggung jawab bagi upaya memperbaiki kondisi yang ada. Relawan biasanya bekerja dengan tenggat terbatas, bertumpu pada network serta tidak tergantung pada organisasi dan komando maupun dari pihak lain.
Relawan Pecinta Taman Bung Karno terbentuk setelah, sekali lagi, SETELAH terjadi kerusakan pada rerumputan taman, sampah yang berserakan, dan sejumlah fasilitas yang rusak. Dari situ mereka berusaha menggalang bantuan untuk membuat tempat sampah permanen yang bagus, membeli rompi untuk sekuriti dan tukang sapu, membeli sapu, membeli gerobak, hingga memperbaiki trotoar depan parkiran yang pecah atau rusak. Mereka berusaha, semampunya, untuk memperbaiki dan berkampanye tentang Taman Bung Karno.
Namun, jika kerusakan di taman itu masih saja terjadi, apakah itu salah mereka?”
“Tidak, Bu,” jawab Debi. Dia lantas mencatat-entah-apa di bukunya.
“Betul. Bukan salah mereka. Kembali berkaca pada diri kita sendiri. Apakah taman kota tersebut hanya milik segelintir anak muda yang tergabung dalam Relawan Pecinta Taman Bung Karno?”
“Tidak, Bu ... taman itu, sebagai ruang publik, milik kita semua ...”
“Milik kita semua, masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab kita semua. Relawan bersifat membantu, menyisihkan waktu luang, untuk dapat membantu—lewat kampanye dan tindakan nyata. Pada hakikatnya Relawan Pecinta Taman Bung Karno tidak akan memasuki ranah politik dan hukum ... mereka hanya mau bekerja untuk memperbaiki, bertumpu pada jaringan mereka, dan tidak tergantung pada organisasi dan komando dari pihak lain ...”
“Nggg ...” Debi nampak ingin membantah.
“Saya ambil contoh ... jika ada manusia yang mati di rumah sakit karena kekurangan darah, apakah relawan pendonor darah yang akan disalahkan? Padahal sekuat tenaga mereka sudah berupaya mencari pendonor darah ...”
“Tidak, Bu. Saya sudah paham ... jika taman terus-menerus rusak, itu bukan salah relawan melainkan pihak-pihak yang membuatnya rusak karena ... nggg ... dalam hal ini taman tersebut berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab pihak lain, bukan relawan.”
“Tepat!” Diba mengacung jempol. “Itulah relawan.”
“Terima kasih, Bu.”
“Ya. Jangan lupa, kenalan lah sama Pak Mukhlis, dan teman-teman relawan yang lain.”
Suasana seminar bertajuk ‘Mahasiswa Cerdas, Gunakan Internet Secara Sehat!’ semakin ramai oleh pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan oleh audiens yang datang dari berbagai program studi setiap fakultas di Universitas Flores. Seminar ini dilaksanakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Uniflor dalam rangka kegiatan akhir tahun.
“Kalian harus ingat kalimat ini ... mengutip Johann Wolfgang van Goethe, pengetahuan tidaklah cukup; kita harus mengamalkannya. Niat tidaklah cukup; kita harus melakukannya,” ujar Diba. “Apa pun informasi yang kalian peroleh hari ini, saat ini, di tempat ini, wajib kalian bagi pada teman-teman lain yang tidak berkesempatan hadir.”
Pada akhir seminar Diba menawarkan bantuannya untuk memperkenalkan blog kepada mahasiswa bila diberi kesempatan menjadi pemateri pada waktu yang akan datang.
“Terima kasih pada BEM Uniflor yang telah mengundang saya menjadi pemateri. Saya senang bisa berbagi informasi dan manfaat bersama kalian semua. Saya jadi ingat ... pertama kali mengenal internet, saya diajari oleh teman kuliah saya di Jogja. Sejak saat itu saya dan internet sulit dipisahkan ...” Diba sengaja menggantung omongannya karena dia tahu jika diteruskan tak akan cukup waktu sehari menceritakan pengalamannya mengenal internet semasa kuliah di Yogyakarta.
“Terima kasih, Ibu ...”
Pukul 13.10 Wita Diba keluar dari Aula Kampus II Uniflor disertai perasaan bahagia. Menjadi pemateri dalam berbagai seminar yang diselenggarakan oleh pihak SMP, SMA, hingga tingkat universitas, merupakan tindakan balas dendam terhadap masa remajanya dulu. Bedanya, balas dendamnya ini ... terasa sangat manis.
Anak Ende harus melek teknologi.
Anak Ende harus mampu membedakan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat sedang berselancar di dunia maya.
Anak Ende ... harus mampu menjadikan internet sebagai korban, bukan menjadi korban internet.
Mari melindas jaman!

***
Bersambung.

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak