Triplet ~ Part 20



Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.


***


PART 20



~ Ende ~
12 Agustus 2015

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” – Bung Karno.

Kota Ende dan sejarah bangsa Indonesia berhubungan sangat erat. Tahun 1934 – 1939 presiden pertama Indonesia, Soekarno atau lebih akrab disebut Bung Karno, diasingkan ke Kota Ende. Salah satu kegiatan Bung Karno ketika berada di Ende adalah mengunjungi sebuah taman, kini bernama Taman Renungan Bung Karno, untuk merenungkan masa depan bangsa ini. Tempatnya merenung adalah di bawah pohon sukun bercabang lima. Lima cabang pohon sukun ini lah yang menjadi cikal bakal lima sila di dalam Pancasila. Ya, renungkan Bung Karno di bawah pohon suku tersebut kemudian dikenal dengan nama Pancasila—wajib diucapkan setiap upacara bendera berlangsung.

xxXXXxx

Sengaja atau tidak sengaja, pura-pura atau memang benar tidak tahu, Diba tetap membenci keberadaan Elf di Situs Bung Karno. Semangatnya berceloteh tentang Bung Karno; tentang perjalanan dan kehidupannya di Ende, tentang benih butir-butir Pancasila yang  direnungkan oleh Bung Karno, naskah tonil-tonilnya yang dipentaskan di Gedung Imaculata, hingga sumur keramat di bagian belakang situs ... surut seketika. Wajah Diba langsung cemberut ketika memasuki pintu rumah, nampak Elf sedang memotret piring makan Bung Karno yang dipajang di etalase. Diba bahkan tidak membalas sapaan penjaga situs.
“Bang Elf!” panggil Pram. “Nggak nyangka kita ketemu di sini.”
“Oh! Hei! Iya ... sudah lama saya tidak ke sini. Perubahannya lumayan banyak,” balas Elf. “Bagaimana? Sudah dapat informasi?”
Pram mengangguk, lantas menggeleng. “Avila coba cari tahu nama lengkap si Wira itu. Wirawan Siswanto. Kata si Diba sejak semalam Ucup udah coba caritahu PNS di sini yang namanya Wirawan Siswanto, tapi belum ketemu,” jawab Pram. “Jangan berhenti bantuin kami, Bang.”
Insya Allah.
Diba menyeret Margaret ke kamar tidur Bung Karno.
“Pssh. Orang itu ...” Diba memonyongkan bibir.
Margaret tersenyum. Sedikitnya dia sudah tahu apa yang terjadi antara Diba dan Elf. “Kamu itu, Dib. Kalau masih cinta mbok ya jangan dilarang perasaannya itu ...” tegurnya.
“Hah? Masih cinta? Jangan mimpi! Saya tidak pernah cinta dia,” bisik Diba.
“Bang Elf sendiri cerita sama Pram.”
Mata Diba melotot. “Cerita apa?”
“Dia masih cinta sama kamu. Dia pengen bisa nikahi kamu,” jawab Margaret, sedikit menambah bumbu. Rasanya bukan tambah sedap, malahan tambah hambar.
Rewo—ngawur! Dia pikir saya Bantar Gebang!?”
Lagi, Diba menyeret Margaret ke bagian belakang rumah. Mereka berhenti di pinggir sumur.
“Aku kasihan sama Bang Elf,” ujar Margaret. Kali ini dia sengaja memanas-manasi Diba.
“Untuk apa kau kasihan sama Abang!?”
“Kasihan kok untuk apa?” balas Margaret. “Pokoknya aku kasihan sama dia.”
“Karena?”
“Nah, itu baru pertanyaan yang tepat,” Margareth mengacung jempol. Dia merasa puas bisa isengi Diba.
“Jangan putar sana-sini, kau.” Padahal dalam hatinya Diba pun turut kasihan pada Elf. Pengorbanan laki-laki itu dibalas air tuba oleh Mira.
“Ha ha ha,” Margaret tertawa puas. “Coba pikir, Dib. Kalau kamu yang berada di posisinya. Setengah mati cinta sama Bang Elf, tapi terpaksa nikah sama ... sama Petrus.”
“Kau tidak tahu apa-apa, jangan pernah ambil kesimpulan Bang Elf cinta setengah mati sama saya.”
“Mau bukti?”
“Apa!?”
“Nggak ada di dunia ini laki-laki yang baru kenal sama laki-laki lainnya berani cerita urusan paling pribadi. Waktu kamu ngajak aku ke rumah, ingat pertama kali kami tiba?, Pram dan Bang Elf masih berlama-lama di ruang kerja ... waktu itu sengaja atau nggak sengaja Bang Elf bilang begini ... cinta sama adiknya tapi nikah sama kakaknya ... begitu ceritanya,” jelas Margaret panjang lebar. “Berani beberkan kisah paling pribadi itu artinya dia beneran cinta kamu.”
Diba terdiam. Sesuatu yang setiap hari menyentuh dadanya, dan terasa dingin, mengingatkannya pada semua perhatian Elf. Dia menggigit bibir. Namun rasa sakit hatinya masih membayang.
Sementara itu, masih di ruang tamu, telepon genggam Pram berdering. Nama Karel berkedip-kedip.
“Hei, Karel!” sapa Pram. “Gimana kabar Jakarta? Heheh ...” sesaat Pram terdiam. Kepalanya berdenyut. “Astaghrifullah ... kok?”
Pram yakin bom nuklir sedang menghampirinya.
“Ya sudah, Karel ... sekarang kamu dan Prita pergi ke Shadiba’s Corner. Pakai taksi bandara. Tunggu aku di sana.”
Setelahnya secepat kilat Pram mengetik SMS untuk Diba. Penjelasannya singkatnya berbunyi: tolong jangan sampai Margaret tahu. Kakakku dr Jkt tiba Ende, sdh di bandara. Tlng hubungi Magda, mereka diamankan di Shadiba’s Corner dulu. Thx.

xxXXXxx

Belum pernah Karel setakut ini. Dulu waktu masih kecil dia paling takut pada suanggi—istilah untuk pemegang ilmu hitam, hasil perjanjian antara manusia sesat dengan setan. Waktu kecil dia pernah melihat seorang perempuan menari telanjang sambil menunduk, mengintip lewat celah selangkangan, dengan rambut terurai horor. Seiring bertambahnya usia dia paham untuk tujuan apa ritual menari telanjang tersebut dilakoni. Waktu SMA, bersama teman-teman sekampung, dia pernah mengejar suanggi kesiangan: roh si pemilik ilmu hitam yang gentayangan pada malam hari untuk mencari mangsa dan terlambat pulang ke tubuh. Kini dia, yang mengaku tidak gentar pada apa pun—apalagi preman Jakarta dan begal, takut setengah mati pada Prita.
Seperti arwah gentayangan. Demikian Karel membatin ketika dua hari yang lalu untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun mengurung diri di kamar, Prita menampakkan diri di ruang makan keluarga Bachtiar. Kalimat pertama yang dia ucapkan di hadapan kedua orangtuanya, dan Karel, adalah “Karel, antar saya ke Danau Kelimutu.”
Belum sampai keterkejutan pertama pada perasaan lega, Karel dihadiahi kejutan kedua. Dia menoleh pada majikannya, Ubanda Bachtiar dan Sri Bachtiar, yang dibalas dengan tatapan sama terkejut dan bingungnya. Untuk tujuan apa Prita meminta Karel mengantarnya ke Danau Kelimutu? Dalam hati dia bertanya-tanya; apakah Mbak Prita tahu kepergian Bang Pram ke Ende? Mungkinkah mengurung diri di dalam kamar bisa mengubah manusia biasa menjadi luar biasa? Kalau begitu saya juga mau.
Sadar akan kehadiran putrinya yang ibarat pertapa turun gunung, Sri bangkit lantas memeluk Prita erat-erat. “Prita ...”
“Boleh kan, Mi? Aku mau ke danau itu ...” rengek Prita.
“Di mana letak danau itu, Nak ... Mami nggak tahu. Kalau terlalu jauh ... Mami kuatir kamu kenapa-napa, Nak,” ujar Sri. Airmatanya berderai.
“Pi,” panggil Prita. “Boleh aku ke sana?”
Ubanda menghela nafas panjang. “Asal kamu dan Pram nggak hilang di sana ... boleh.”
“Pram di sana?” Bergantian Prita menatap Ubanda, Sri, dan Karel. Sri menatap Ubanda tajam.
Karel ingin menepuk keningnya namun urung. Dia membayangkan keterkejutan Pram mendengar berita ini, termasuk kemarahan Margaret. Dia tahu persis apa yang pernah terjadi antara Prita dan Margaret. Dan bencana besar bisa terjadi jika Margaret tahu rencana kedatangan Prita ke Ende.
“Pram di sana?” ulang Prita. Keningnya mengerut. “Untuk apa?”
“Iya, Mbak Prita,” sahut Karel. “Bang Pram di Ende. Ada ... eh ... ada urusan bisnis sama temannya. Katanya sih begitu.” Dia berbohong.
“Bagus,” Prita tersenyum. Dia membayangkan wajah perempuan yang pernah datang di dalam mimpinya itu. Perempuan itu meneriaki tanggal pernikahannya yang batal. Ketika dia berpaling pada arah embusan angin yang semakin lama semakin kencang, yang dia lihat hanyalah tulisan: Welcome to Danau Kelimutu.
Memeluk Prita dan membaui aroma tubuhnya yang tidak seharum dulu, tangis Sri semakin menjadi. Prita adalah perempuan yang selalu mengutamakan penampilan termasuk aroma tubuh—tentu saja.
“Aku mau besok sudah tiba di Ende, Pi ... bantu aku, Pi.” Prita menghiba. Sampai saat ini dia tahu Papinya dapat melakukan keajaiban.
Ubanda mengangguk. Mencari tiket bukan urusan pelik. Yang dia tanyakan sekarang adalah kenapa dua anaknya mendadak menaruh minat yang tinggi pada Kota Ende?
“Karel,” panggil Sri “bantu kami berkemas. Setelah itu kamu juga berkemas.”
“Baik, Bu.”
Dan di sini lah mereka sekarang. Di ruang kerja beraroma jeruk milik perempuan yang pada bulan ini mengisi profil Tabloit Online Perempuan Hebat Kita: Shadiba Pua Saleh.
Prita merebahkan punggung di sandaran sofa. Oleh Magda, mereka disuguhi teh panas beraroma melati dan sepiring kue rambut—khas Ende. Berbeda dengan kue rambut dari Flores Timur yang berukuran besar dan kenyal. Kue rambut ini mungil dan renyah.
Telepon genggam Karel berdering. Tak lama dia menyerahkan telepon genggamnya pada Prita. “Mbak, telepon dari Ibu.”
Prita menerima telepon genggam milik Karel. “Iya, Mi?”
“Kamu baik-baik saja di situ?”
“Baik, Mi.”
“Sudah ketemu Pram?”
“Katanya dia masih pergi dengan ... Margaret, Mi. Masih ke Situs Bung Karno.”
“Kalau kamu butuh apa-apa, segera kabari Papi dan Mami, ya.”
“Iya, Mi.”


***
Bersambung

3 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. sis numpang tanya ya.. apa triplet ini juga di tulis di sweek? soalnya tadi liat judulnya sama, mau tak asih ss nya di komen ini gak bisa, kalau di disqus bisa upload ssnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Enggak sis, ini Triplet cuma dipublish di sini dan ini punya saya hahahha :D mungkin ceritanya beda cuma sama judul :D

      Hapus
  2. ooooh begitu ya beb, kirain sama ini ss nya ku upload di drive google https://drive.google.com/open?id=14qVtwPuXpCJs3Oax6hyGKf-ewrvbVLwC

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak