Triplet ~ Part 19



Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.


***


PART 19


~ Ende ~
10 Agustus 2015

“Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” – Nelson Mandela.

“Jam sembilan ya, Kak, soalnya pagi kami masih upacara bendera, dan persiapan final.”
“Oke.”
“Terima kasih, Kak.”
“Sama-sama Ibu Guru!”
“Ah ... Kakak ini ...”

xxXXXxx

Pukul 08.30 Wita. Diba memacu Nimbus2007 menuju almamaternya: SMA Negeri 1 Ende. Hari ini dia memenuhi undangan menjadi pembicara dalam kegiatan workshop bertajuk “Jurnalisme Warga” yang diselenggarakan oleh pihak sekolah dalam rangka menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-70 dan Panca Windu SMANSA. Semalam Ovi meneleponnya untuk mengabarkan kepastian acara, dan estimasi waktu.
Gerbang SMA Negeri 1 hanya sedikit mengalami perubahan sejak Diba bersekolah di sini pada era 90-an. Dia tersenyum sendiri saat melintasi gerbang. Teringat sekuriti sekolah, Om Bendu, yang acap menegurnya karena sering terlambat tiba di depan gerbang. Setelah melapor pada sekuriti yang pada nametag-nya tertulis: Alfons, dan memarkir Nimbus2007, dia melangkah pasti menuju RTU 1 (Ruang Tata Usaha 1) di dekat tempat upacara.
Bertemu dengan guru-guru lama, juga guru-guru baru, menghadirkan sensasi ABG pada Diba. Dulu dia sering mendatangi RTU 1 untuk mengecek surat dari para sahabat pena. Dia dan Atha juga sering berlama-lama ngetem di RTU 1 untuk mendiskusikan majalah dinding Kelas 3 Bahasa bersama wali kelas: Ibu Theresia Hurint, setiap kali kelas mereka mendapat jatah bulanan untuk mengisi majalah dinding sekolah.
Jaman berubah. Jika dulu Kantor Pos sangat berjasa untuk anak sekolah yang gemar bertukar kabar dengan teman-teman dari luar pulau dalam istilah sahabat-pena, maka sekarang cukup membeli paket data untuk android (atau Blackberry) maka pertukaran informasi tidak perlu menunggu satu sampai dua minggu. Dan urusan majalah dinding ... apakah masih seefektif dulu? Bukankah kini puisi, cerpen, bahkan ragam artikel begitu mudah diperoleh lewat ujung jari?
“Kak, ayo kita ke aula,” ajak Ovi—si guru muda.
“Acaranya sudah mau mulai?” tanya Ibu Ina, guru SMA N 1 yang dulu sempat mengajar Geografi di kelas Diba.
“Sudah, Mama Ibu,” jawab Ovi.
Diba berpamitan pada Ibu Ina, lantas mengekori Ovi menuju aula. Mereka melintasi taman yang dipagari bonsai, dan pada bagian tengahnya tertata apik pot-pot bunga.
“Kak Atha?” tanya Ovi saat langkah mereka sejajar, menyusuri koridor.
“Di rumah. Macamnya belum bangun.”
“Kak Mira?”
Diba terkekeh. “Kau mau tanya dia atau pura-pura supaya saya cerita ini-itu?”
“Ha ha ha ... Kak Diba ini ... saya cuma tanya. Soalnya keluarga Bata sudah dengar kabar Kak Mira mau nikah lagi.”
Lagi, Diba terkekeh. “Yang penting dia bahagia dengan semua keputusannya, Vi.”
“Tapi ... saya ada dengar kabar nih, Kak ...”
“Kabar apa?”
“Mas Wawan itu ...” Ovi ragu-ragu. “Hmmm ... tidak jadi, Kak.” Ovi batal bercerita.
“Kau ini. Kalau mau bicara, ya bicara saja. Sengaja bikin saya penasaran? Huh ... tidak bisa! Saya tidak mudah penasaran.” Diba menempuk dada.
Ovi tergelak. “Kakak ini.”
“Kita masuk sekarang?” tanya Diba.
“Yuk ...”
“...”
Ketika memasuki aula, ratusan pasang mata tertuju pada Diba dan Ovi. Kuping Diba mendengar seruan a la ketua kelasnya dulu. “Siap ... berdiri ... beri hormat ...”
Lantas terdengar koor, “selamat siang, Ibu!”
“Selamat siang!”
Ovi berbisik, “infocus dan laptop sudah kami sediakan, Kak. Mana flashdisk-nya, Kak, biar saya yang colokin.”
Diba mengeluarkan flashdisc, menyerahkannya pada Ovi, lantas pergi ke depan kelas.
“Halo, semua,” sapa Diba. “Apa kabar?”
“Baik, Ibu!”
“Sudah sarapan?”
“Sudah, Ibu!”
“Sudah sarapan di Shadiba’s Corner?” guraunya.
“Ha ha ha ...”
“Sudah punya akun di media sosial?”
“Sudah, Ibu!”
“Sudah kasih informasi apa pada teman-teman di media sosial?”
“...”
“...”
“Hari ini saya bertugas membaca Undang-Undang Dasar ... padahal saya tidak biasa tampil di depan umum!” suara salah seorang murid perempuan yang ditanggapi gelak tawa teman-temannya.
Diba terkekeh. Dia mengangkat tangannya meminta audiens untuk tenang. “Itu ... salah satu bentuk dari jurnalis warga. Coba saja dilengkapi dengan informasi pendukung seperti ... hmm ... hari ini kami juga akan mengikuti workshop bertema jurnalisme warga.”
Dinding di belakang Diba menayangkan slide pembuka: karikatur murid SMA yang sedang menghadap laptop dimana tangan kanan berada di atas keyboard sedangkan tangan kiri memegang gadget. Audiens tergelak.
“Ini lah dunia kita sekarang,” kata Diba. Dia mengeluarkan pointer. “Pergeseran jaman membawa kita pada adegan seperti ini. Yang tadi tertawa, pasti pernah mengalaminya. Iya, kan? Sedang online di laptop, sedang chatting dengan teman Facebook, eeeh ada yang nge-ping di BBM.”
“Betul, Ibu!”
“Saya tahu, rata-rata kalian semua, setiap hari pasti Facebook-an. Atau paling tidak dalam satu hari kalian bisa ganti status BBM sampai puluhan kali. Pertanyaan saya, seberapa sering kalian memberi informasi kepada Facebookers?”
“...”
“Tuuuh. Diam, kan? Saya tahu ... informasi yang kalian berikan hanya seputar jatuh cinta, putus cinta, pacar selingkuh, sedih karena ditinggal pacar yang kuliah, dan seterusnya ... dan seterusnya ... oleh karena itu hari ini kita akan belajar menjadi jurnalis warga. Well, siapa yang tahu apa itu jurnalisme warga?”
Salah seorang murid laki-laki, berkacamata, mengangkat tangan. “Warga yang menjadi jurnalis, Bu!”
“Huuuu ...” komentar audiens lain.
“Sabar. Jangan ‘huuu’ dulu,” tukas Diba. “Benar. Secara garis lurus jurnalis warga, ya ... warga yang menjadi jurnalis.” Slide berganti. “Jurnalisme warga atau citizen journalism adalah kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita. Tapi ... itu menurut Wikipedia.”
“Ha ha ha ...”
Slide berganti. “Menurut saya, jurnalisme warga adalah ketika saya mengedarkan informasi positif di semua akun media sosial seperti blog, Twitter, Facebook, Path, dan bahkan status BBM dan WhatsApp. Informasi tersebut tentu berguna, tidak saja bagi saya, tapi juga bagi orang lain.” Diba tersenyum. “Jika dulu kita yang memburu informasi, maka sekarang informasi yang memburu kita. Maksudnya, kita sebagai pengguna media online dapat memberikan informasi yang sekiranya dibutuhkan oleh onliners lain,” ujar Diba, mengutip Ace Pentura, salah seorang pemateri dari ICT Watch.
Slide kembali berganti. “Mungkin satu atau dua dari kalian berpikir ... apa pentingnya jurnalisme warga?” Diba berjalan mendekati meja paling depan. “Apakah kalian setuju, jika—seandainya, salah satu situs berita di Indonesia ini menulis: Danau Kelimutu terletak di Kabupaten Sikka?”
“TIDAAAAK!”
“Nah. Itu salah satu contoh yang paling mudah untuk dipahami. Kondisi suatu daerah, apa yang terjadi, tempat wisatanya, kearifan lokalnya ... siapa lagi yang paling tahu jika bukan ...?”
“Masyarakatnya sendiri, Bu!”
Diba tersenyum senang. “Ada sebuah tulisan berjudul Bermakna di Lautan Media Sosial, ditulis oleh Nukman Luthfie. Tulisan ini dirangkum bersama tulisan lain dalam buku berjudul Linimassa, Pengetahuan Adalah Kekuatan ...
Salah satu sisi positif social media seperti blog, Facebook, dan Twitter adalah menguatnya fenomena jurnalisme warga. Pertengahan tahun Duaribuan, blog melahirkan lebih dari sejuta blogger Indonesia, yang begitu aktif menulis apa pun di blog masing-masing dan rajin memberi komentar di blog teman-temannya. Tiba-tiba, jurnalisme warga, yang sebenarnya bukan barang baru di radio, menguat di dunia maya. Dan, tanpa bisa ditahan, kian meledak dengan semakin popularnya Facebook dan Twitter. Tutup tahun 2010, pengguna Facebook di Indonesia tembus angka tigapuluh dua juta dan Twitter sekitar sepuluh juta pengguna.”
“Wow!” koor audiens.
“Ya, wow sekali!” sambar Diba.
Diba melanjutkan, “masih dari tulisan Nukman Luthfie ... pertanyaannya, bagaimana kita menjadi bermakna di lautan jutaan pengguna blog, Twitter dan Facebook? Bagaimana kita tidak sekadar menjadi blogger, pengguna Facebook, Twitter dan media sosial lainnya? Bagaimana kita bisa memberikan kontribusi positif, membrandingkan diri menjadi jurnalis warga yang dikenal dan diakui di bidangnya, lalu mendapat benefit yang layak?
Nukman Luthfie menjelaskan tentang Tangga Teknografi Sosial yang diperkenalkan oleh Forester Research. Di tangga teratas, ada golongan yang disebut sebagai Creator. Ciri utamanya adalah memiliki blog atau website pribadi yang rajin diperbarui serta membuat dan meng-upload audio atau video karyanya ke website. Bisa ke Youtube misalnya. Khusus untuk Indonesia ciri ini bisa disederhanakan menjadi: memiliki blog dan rajin memperbaruinya.
Di anak tangga kedua ada Conversationalist. Mereka adalah para pengguna Facebook dan Twitter yang rajin menulis status. Meski bukan Creator, mereka cerewet. Apa pun mereka tulis di status, mulai dari barang yang mereka konsumsi, diri sendiri, hingga urusan kantor. Kalau boleh saya tambahkan dari tulisan Pak Nukman ini, urusan buang angin pun mereka tulis di Facebook dan Twitter.”
Audiens tergelak.
“Kita lanjut pada anak tangga ketiga yaitu Critics, yaitu orang-orang yang tidak punya blog, tidak meng-update status di Facebook dan Twitter, namun mengomentari blog atau tulisan orang lain.
Collectors adalah orang-orang yang menggunakan RSS, memanfaatkan tag.
Joiners ... ini orang-orang yang menurut saya lucu juga. Mereka hanya sekadar bergabung ke jejaring sosial.
Berikutnya ada Spectators. Orang-orang yang membaca informasi di jejaring sosial tapi tidak mempunyai akun.
Dan yang terakhir Inactive.
Namun hanya dua segmen teratas yaitu Creators dan Conversationalist yang berperan besar dalam mempengaruhi publik atau konsumen pada umumnya mengambil keputusan. Oleh karena itu, jika ingin membangun citra diri dan bermakna di media sosial, syarat utamanya adalah harus berada di tangga teratas yaitu memiliki blog atau website pribadi, lantas menggunakan Facebook atau Twitter untuk penyebarannya.”
Beberapa audiens terlihat mencatat informasi yang Diba sampaikan ini.
“Sekarang saya minta kalian untuk ...”
Dari sudut kelas Ovi tersenyum puas melihat antusiasme murid-muridnya ...

xxXXXxx

Bandara H. Hasan Aroeboesman, Ende. Akhirnya Pram menyaksikan sendiri Gunung Meja, gunung yang berpuncak datar—sebuah obstacle, berdekatan dengan bandara mungil ini. Menurut informasi yang dia gali dari Wikipedia, Gunung Meja yang tingginya mencapai 3 kilometer ini memiliki tebing indah di kedua sisinya. Dataran ini diapit oleh pegunungan bernama Devil’s Peak di bagian timur dan Lion’s Head di bagian barat.
Pram dan Margaret dijemput oleh Petrus, sopir Shadiba’s Corner.
“Sampai jam berapa majikan kalian itu selesai acara di sekolahnya?” tanya Margaret.
“Mungkin jam dua atau jam tiga, Kak,” jawab Petrus. Dia lantas beralih pada Elf. “Abang mau sekalian saya antar pulang?” tawarnya.
“Saya juga ke Shadiba’s Corner, kok,” jawab Elf seraya memuat koper milik Pram ke dalam Feroza yang membuat dua tamu dari Jakarta ini berhimpit-himpit bersama koper dan carrier. Tak lama Feroza meninggalkan parkiran bandara.
“Berapa lama di Ende, Kak?” tanya Petrus. Tangannya fasih megemudikan Feroza.
“Belum tahu,” jawab Margaret.
Elf tersenyum. “Kenapa tanya begitu, Petrus?”
“Siapa tahu mereka mau ikut saksikan acara Komuni Suci Pertama, Bang,” jawab Petrus.
“Aha!” Margaret menjentik jari. “Kamu harus lihat sendiri, Pram! Komuni Suci Pertama di Ende ini digelar secara akbar! Saya pernah baca konten blog Diba soal ini. Kalau tidak salah namanya Sambut Baru ya, Bang Petrus?”
“Betul ...”
Jarak dari Bandara H. Hasan Aroeboesman menuju Shadiba’s Corner hanya sepuluh menit mengendarai kendaraan bermotor. Feroza tiba di depan sebuah bangunan mirip dadu warna biru, lantas berbelok kanan memasuki pekarangan samping. Ketika Feroza berhenti Petrus berkata, “selamat datang di Shadiba’s Corner! Oh ya, Bang Elf tolong lah antar tamu Kak Diba ini ke dalam. Sudah ditunggu sama Magda.”
“Oke.” Elf turun. “Kau tolong bawakan koper dan carrier itu ke dalam, ya,” pintanya pada Petrus.
“Bereees!”
Elf memandu Pram dan Margaret memasuki Shadiba’s Corner. Mata Margaret terbeliak menyaksikan isi bangunan ini. Dia berdecak kagum. “Kampret betul si Diba itu. Sukses bingits dia sekarang.”
“Konsepnya keren,” komentar Pram.
Magda muncul di Pojok Buku. Dia menyambut tamu-tamu majikannya ini, mengajak mereka ke ruang kerja. Dalam hati dia bertanya-tanya apa hubungan tamu-tamu Diba dengan Elf?
“Pesan Kak Diba ... Kak Pram dan Kak Margaret silahkan tunggu di sini,” katanya. “Bang Elf ... eh ...” dia canggung.
“Mereka minta saya temani,” balas Elf, mengedik bahu.
“—ooh. Baiklah. Mau minum apa? Kalau Bang Elf pasti kopi. Kak Pram dan Kak Margaret?” tanya Magda.
“Air putih!” jawab Margaret.
Pram ragu-ragu. “Ada ... cola dingin?”
“Siap,” jawab Magda lantas menghilang dari pandangan.
Sambil menunggu kedatangan Diba, Elf mengurai beberapa kemungkinan. “Pertama nama. Kalau kita tahu nama lengkap laki-laki itu, akan lebih mudah mencarinya.”
“Ende ... kecil ...” gurau Margaret.
“Wira,” jawab Pram.
“Wira ... Wira—who?” tanya Elf.
Pram mengolah ingatannya. “Wira Ndeso. Hanya itu yang saya tahu.”
“Tidak ada orang yang bisa kamu tanyain soal nama lengkapnya si Wira ini, Pram?” tanya Margaret kesal.
Pram garuk-garuk kepala. “Saya coba hubungi Subhan, atau Avila.”
Margaret mengacungi jempol. “Cobaaa dari kemarin-kemarin kau minta bantuan mereka tanyain nama lengkapnya si Wira Sablang itu.”
Pram tersenyum. “Sableng ...”
“Jadi ... bagaimana kalian bisa saling kenal?” tanya Elf pada Margaret.
“Ceritanya panjang. Aku dan Diba ketemu waktu lolos ajang bergengsinya Detik Dot Com, Aku Cinta Indonesia Tahun Duaribu Sepuluh. Nggak nyangka kami satu tim keliling Provinsi Jawa Barat,” jawab Margaret.
“Wirawan Siswanto,” celetuk Pram. “Itu nama lengkapnya.”
Elf memaling wajah pada Pram. “Wirawan Siswanto. Nanti saya coba bantu cari informasinya.”
Pintu ruang kerja membuka. Diba muncul di situ dengan seringai lebar. Seringainya surut dan berubah masam ketika melihat sosok Elf. Segera dia berpaling pada dua tamunya. “Margareeeet!” dia menjerit (yang agak terlambat) lantas memeluk Margaret erat-erat.
“Kenalkan, Diba ... ini Pram,” Margaret memperkenalkan Pram.
“Halo, Pram.” Diba menyambut uluran tangan Pram.
“Mirip sekali dengan ...”
“Pram!” hardik Margaret.
Diba terkekeh. “Mirip sekali dengan Atha? Saya penasaran ... jangan-jangan kalian jauh-jauh terbang ke Ende karena ingin ketemu Atha?”
Elf tahu, Diba sengaja mengabaikannya. Tapi dia mengabaikan sikap dingin Diba.
“Oh ya, Diba. Tadi kami ketemu Bang Elf di Bandara Komodo,” lapor Margaret.
Diba menoleh sesaat pada Elf, hanya sekadar basa-basi gerak tubuh, lantas kembali pada dua tamunya. “Jadi ... kita akan mulai dari mana? Wairebo? Bena? Atau mau ke Larantuka dulu? Atau ...”
“Dek, apa tidak sebaiknya Pram dan Margaret istirahat lebih dulu?” tegur Elf.
Diba memonyong bibir. “Atau kita mulai dari ...”
Margaret mengangkat tangan. “Diba, kami ke sini nggak sekadar melancong. Pram lagi cari seseorang. Dan benar kata Bang Elf ... aku butuh bantaaal!”
“Oke ... oke ... kita ke rumah. Setelah ketemu Baba dan Ine, saya antar kalian ke hotel. Sorry, Margaret, kamar tamu di rumah saya sudah ada penghuninya sekarang,” kata Diba, melirik Elf—sekilas.
“Oke, no problem,” jawab Margaret.
“Ayo sekarang kita ke rumah dulu ...”
Pram, yang tidak terbiasa dengan gaya bicara Orang Ende yang ceplas-ceplos dan nyaris tanpa tanda baca, hanya melongo melihat Diba dan Margaret keluar dari ruang kerja.
“Bang Elf ...” tegur Pram.
Elf tersenyum. “Sudah biasa, Pram.”
Ekspresi Elf, dan caranya menjawab, menghadirkan opini tersendiri di benak Pram. “Maaf, Bang. Apakah ...”
“Dari posisi saya? Cinta adiknya tapi nikah sama kakaknya. Dari posisi dia ... mungkin ... cintanya kandas.”
“Astaga!” Otak Pram seakan hendak pecah.
“Pssttt.”
“Ya, ampun!” gaya Pram, setelah diterjang gelombang dahsyat potongan kisah hidup Elf, mirip bencong rempong menggendong sekarung keong.
“Saya sedang berjuang merebut kembali cinta saya, Pram.”
“Aku perlu belajar sama Bang Elf nih ...”
Diba muncul di pintu. “Pram, kau tidak ikut ke rumah?”
“Ikut.”
Kali ini suara Diba lebih pelan. “Abang mau ikut pulang atau ...”
“Itu Feroza mana cukup, Dek. Nanti Abang pulang naik ojek atau dijemput En saja,” jawabnya.
“Oke. Ayo, Pram!”
Dalam perjalanan menuju rumah Diba, jemari Pram sibuk mengirimkan informasi pada Margaret melalui SMS. Awalnya dia menyangka Diba bersikap begitu karena alasan Elf menjadi ‘mantan’ kakak iparnya berhubungan dengan perselingkuhan atau KDRT terhadap Mira. Sudah biasa dari Elf ternyata bermakna lain. Pram, yang terkejut mendadak menerima informasi dari Elf, ingin membentur kepala di koper.

xxXXXxx

Kedai jagung rebus yang terletak di KM 14 sangat populer di kalangan masyarakat Kota Ende dan sekitarnya. Pemiliknya, pasangan suami-istri Om Agus dan Tanta Sibe, menyediakan enam saung berbagai ukuran sebagai tempat mengaso para pengunjung sembari menikmati jagung manis rebus, ikan asin bakar, dan sambal jeruk. Selain itu Om Agus juga menyediakan moke-manis berkadar alkohol rendah. Letak kedai ini tepat di sisi jalan, dengan pemandangan jalan antar kabupaten di Pulau Flores dan bendungan yang baru dibangun oleh pemerintah.
“Sebulan, dua bulan sekali, mereka datang ke sini ...” tutur Wati. Siang ini, dalam perjalanan ke Kota Maumere, dia dan Atha berhenti di KM 14 untuk menikmati jagung rebus dan memilih saung yang letaknya paling jauh dari kedai; dekat aliran air sungai.
“Hmmm ...” mulut Atha sibuk mengunyah jagung rebus. Sambal jeruk racikan Tanta Sibe menambah nikmatnya butir jagung yang dia kunyah.
“Sekarang saya sudah tahu harus berbuat apa.”
“Hmmm ... ssshhh ... apa?”
“Melupakan dia, melanjutkan hidup. Saya akan mengurusi usaha toko sembako Ayah dan Ibu.”
Atha mengucak mata. Pemandangannya mendadak kabur. Ndoriwoi kah yang datang?
 


***
Bersambung

2 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. dari dulu penasaran dengan karakter diba... siapasih beb.. apa mewakili si penulis yak...? xixixi

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak