Yang Muda Yang Berkarya


Menjadi salah satu agen MI6 sangat sulit. Kesulitan yang pertama, MI6 di dalam kisah fiksi itu memang tidak membuka pendaftaran di dunia nyata. Kesulitan yang kedua, parahlah jika kita bersaing dengan Daniel Craig. Sejauh yang saya lihat, Daniel Craig masih belum tergeserkan baik dari sisi peran maupun kharismanya yang aduhai bikin mata menyala. Tapi, menjadi agen perubahan di dunia mudah dilakukan; asalkan semangat tidak boleh kendur. Ini sebuah cerita tentang kaum muda sebagai agen perubahan di kampung halamannya masing-masing. Mereka punya mimpi yang besar yang perlahan telah terwujud. Seperti konsep tiny house; living big in tiny house. Why not?

Sabtu kemarin, 26 Mei 2018, Pusat Studi Pariwisata Universitas Flores (Puspar Uniflor) menggelar kegiatan Diskusi dan Buka Bersama dengan tema Yang Muda Yang Berkarya. Kegiatan tersebut menghadirkan tiga pemateri yaitu Eka Raja Kopo dari RCM Detusoko, Sampeth Rua dari wisata Kolibari dan Kezimara, dan Mario Gesiradja dari Taman Baca Anak Merdeka. Bertiga mereka menghipnotis peserta yang terdiri atas mahasiswa, dan juga dihadiri oleh beberapa dosen. Diskusi kece tersebut digelar di rooftop (jadi ingat Drakor) Prodi Pendidikan Sejarah, Kampus II, Uniflor.

 Eka Raja Kopo

Eka Raja Kopo, penerima Grand Young Shoutheast Asian Leaders Initiative (YSEALI) merupakan anak muda yang tergabung dalam Remaja Mandiri Community (RCM), sebuah komunitas anak muda yang digagas oleh Nando Watu di Kecamatan Detusoko. Jarak antara Kota Ende dan Kecamatan Detusoko sekitar 30 menit perjalanan menggunakan kendaraan bermotor. Nando Watu sendiri dikenal sebagai salah seorang penerima beasiswa AMINEF dan ditempatkan di Miami. Iya, itu di Amerika, kaks. Haha

 Nando Watu (paling kiri dari pembaca) memegang Koro Degelai-nya.



Kemasannya eksklusif!

Tentang seluk-beluk RCM dapat dibaca di sini. RCM mengajak kaula muda Detusoko untuk 'kembali ke desa', membangun desa, berkreativitas, dan menunjukkan bahwa hal besar tidak selamanya dimulai dari kota. Panjang perjalanan RCM, dari satu program ke program lain, dari satu kunjungan ke kunjungan lain, dari satu kesuksesan menuju kesuksesan lain. Mereka hebat. Setelah sukses dengan mengembangkan dan memperkenalkan produk mereka ke mata dunia seperti Koro Degelai (Lombok Tomat) yang dikemas eksklusif, Kopi Detusoko, Selai, juga menerima tamu dari luar negeri beraktivitas bersama di sana, dan lain sebagainya, mereka mengembangkan Decotourism.

Gambar diambil dari sini.

Membaca konsep Decotourism di situs resminya, mulut saya hanya bisa nganga-nutup-ngaga-nutup. Ngampung banget saya ini. Haha. Informasi dari situsnya: Detusoko Integrated Eco Village merupakan proyek sosial yang diinisiasi oleh alumni Indonesia dari program YSEALI E-Community Generation Workshop yang dilaksanakan di Hanoi, Vietnam (1-4 Agustus 2017). Program ini berisi kegiatan pemberdayaan petani di Desa Ende, Detosoko. Tujuan dari proyek ini adalah peningkatan kesejahteraan ekonomi, peningkatan utilisasi pariwisata dan kebermanfaatan bagi masyarakat sekitar dengan menonjolkan potensi agrikultur dan pariwisata. Informasi lanjutan, silahkan kunjungi situsnya.

Makanya, tidak heran jika peserta kegiatan diskusi dan buka bersama itu terhipnotis, bahkan tidak ada seorangpun peserta yang sibuk sama gadget-nya masing-masing. Kepala mereka tetap terangkat menuju panggung. Terimakasih Eka sudah berbagi begitu banyak pengalaman berharga dengan kami semua.

Pesan Eka; mengutip Tan Malaka, TERBENTUR, TERBENTUR, TERBENTUR, TERBENTUK.

Pemateri kedua adalah Syamsudin Rua atau lebih dikenal dengan Sampeth Rua.

 Sampeth Rua.

Dia adalah pemuda asal Kolibari, sebuah kampung kecil di puncak bukit sekitar 10 menit dari Kota Ende menggunakan kendaraan bermotor. Sampeth bercerita awalnya Kolibari sampai dikenal orang; bermula dari dirinya sendiri yang setiap hari saat pergi-pulang kuliah melihat Kota Ende dari kampungnya itu. Pemandangan seindah itu kenapa hanya dinikmati oleh mereka saja? Maka dia mengajak teman-temannya untuk mulai mempromosikan Kolibari. Mereka bahkan membangun lopo-lopo di bukit pandang agar pengunjung dapat beristirahat di situ. Saya sekeluarga pernah piknik di lopo-lopo itu. Hahaha.

Pemandangan Kota Ende dari bukit pandang Kolibari. Lopo-loponya sudah dibongkar. Dari tidak dikenal, sampai terkenal.

Adalah seorang pemuda Ende yaitu Johanes M. Bunyu, olahragawan paramotor dan paragliding, yang pada tahun 2009 melakukan observasi menggunakan paramotor. Saat sedang terbang di atas Bukit Kezimara (di sebelahnya Bukit dan Kampung Kolibari), dia menemukan spot yang paling cocok untuk terbang paragliding. Tahun 2015 dia mendekati Sampeth untuk bisa berinisiasi dengan masyarakat wilayah adat Kolibari. Tahun 2017, setelah perjalanan panjang diskusi, rembug, pro-kontra, Site Paragliding Kezimara mulai beroperasi. 

Sekarang orang-orang sudah mengenal Kolibari dan Kezimara sebagai lokasi wisata dalam Kota Ende yang patut diperhitungkan. Sampeth merangkul masyarakat (orangtua dan kaum muda) untuk 'sadar' bahwa inilah bekal yang akan mereka wariskan pada anak cucu ... kelak. Partisipasi kaum muda tidak terlepas dari peran Sampeth sebagai 'pelopor' yang 'suaranya' mau didengar. Itu semua merupakan buah dari pergaulannya selama ini yang tidak pernah mengkotak-kotakkan kelompok sosial. Kesempatannya untuk lebih didengar terbuka lebar setelah menjadi Ketua Karang Taruna Kelurahan Roworena Barat dan Ketua Remaja Masjid Nurul Sama'a Kolibari. Coba kalian cari di mana ada ketua remaja masjid yang rajin mengiringi paduan suara di gereja? Hehe. Sampeth salah satunya! Dia merangkul dan menyatukan masyarakat dalam harmoni yang indah.

Sampeth sedang terbang itu, ditandem sama Pak Jaki Para.

Perubahan yang terjadi dengan terkenalnya Kolibari, dan Kezimara menjadi spot paragliding pertama di Provinsi Nusa Tenggara Timur sangat dirasakan. Perekonomian masyarakat meningkat karena ibu-ibu menjual hasil tenun ikatnya langsung di tempat (tidak perlu ke pasar), ibu-ibu berdagang makanan dan minuman, anak-anak menjadi guide dan portir, bapak-bapak tidak perlu jauh-jauh menjual hasil kebun seperti kelapa muda dan ubi - pisang, anak-anak kecil yang kesehariannya menggunakan bahasa daerah (bahasa Ende) kini mau tidak mau harus belajar Bahasa Indonesia dengan baik, dan lain sebagainya. Perubahan nyata itu ada dan akan terus terjadi.

Pesan Sampeth: semangat jangan sampai kendor, apalagi kalau berhadapan dengan Mosalaki (ketua adat).

Yang ketiga, ini dia Mario Gesiradja.

Mario Gesiradja saat diwisuda di Universitas Bengkulu.

Mario bercerita tentang asal mula dia mendirikan Taman Baca Anak Merdeka di Kelurahan Onekore. Saya sendiri kaget bahwa di kelurahan itu ada taman baca sekeren ini. Taman bacanya sederhana, di atas bak sampah yang tidak terpakai lagi, dibangun menggunakan bahan-bahan bekas/sisa. Kata Mario, ada tetangga yang membongkar rumahnya, bahannya diminta untuk membangun taman baca. Tenaga/tukangnya adalah dirinya sendiri dibantu oleh beberapa teman yang punya pasion yang sama.


Buku-buku awal merupakan buku-buku milik Mario sendiri semasa merantau di Bengkulu sebagai mahasiswa. Sepuluh dos buku dikirim gratis menggunakan program Kantor Pos Indonesia yang menggratiskan kiriman buku setiap tanggal 17 untuk kepentingan taman baca dan perpustakaan. Menariknya, anak-anak tidak hanya membaca di Taman Baca Anak Merdeka, tetapi juga diajarkan banyak hal berfaedah oleh para pengasuh taman baca.


Taman Baca Anak Merdeka juga bekerjasama dengan Kelurahan Rewarangga yang terbuka dengan kegiatan-kegiatan semacam ini. Mereka bahkan sampai ke RT Nggonggo di Kelurahan Rewarangga yang lokasinya mendekati Nuabosi yang mana infrastrukturnya belum semuanya terpenuhi. Salut sekali sama kegiatannya Mario dan teman-teman di Taman Baca Anak Merdeka ini. Mereka punya aksi nyata untuk daerahnya, untuk melakukan perubahan.

Pesan Mario: ambilah satu dan bacalah aku!

Usai paparan materi dari Eka, Sampeth, dan Mario, acara dilanjutkan dengan buka puasa bersama. Limabelas menit setelah buka puasa bersama, dilanjutkan dengan diskusi atau tanya-jawab. Dikarenakan waktu yang terbatas, penanya dibatasi sejumlah lima orang saja. Pertanyaan kritis mereka dijawab dengan penuh motivasi oleh Eka, Sampeth, dan Mario. 

Kegiatan semacam ini rencananya akan terus dilanjutkan oleh Puspar Uniflor, menjadi agenda bulanan, yang menampilkan kaum muda sebagai agen perubahan. Kaum muda yang tidak hanya bicara, tetapi telah berbuat, melakukan perubahan pada lingkungannya, meskipun melalui langkah kecil (kata saya sih kalau langkah kecil). Karena jika bukan kita, siapa lagi? Mereka menjadi inspirasi bagi para peserta yang rata-rata mahasiswa. Dengan rentang usia yang tidak terlalu jauh, masih dalam ranah anak muda, tetapi sudah menjadi agen perubahan. Mahasiswa pun pasti bisa. Kelak.

Jika mau menggabungkan pesan dari Eka, Sampeth, dan Mario, maka jadinya seperti ini:

"BENTURKAN DIRIMU AGAR TERBENTUK MENJADI KAUM MUDA DENGAN SEMANGAT YANG TIDAK PERNAH KENDUR SEDIKIT PUN."


Cheers.

2 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. terimakasih untuk artikelnya, izin share juga ya ^^
    http://mitoha-goldengamat.com/
    http://obatkelenjargetahbening.xyz/

    BalasHapus
  2. Yang muda yang berkarya, kata ini saya suka. sepertinya baca tulisan ini harus teliti... menarik ne

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak