Triplet ~ Part 4


Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.

***
PART 4


~ Ende ~
27 Desember 2014

“Apa gunanya ilmu kalau tidak memperluas jiwa seseorang sehingga ia berlaku seperti samudera yang menampung sampah-sampah? Apa gunanya kepandaian kalau tidak memperbesar kepribadian seseorang sehingga ia makin sanggup memahami orang lain?” – Emha Ainun Nadjib.

Setiap kali kerinduan datang, dengan berdarah dingin dia dapat membatalkan semua rencana dan janji, bahkan jika itu adalah janji penandatanganan perdamaian dua negara yang sedang bertikai sekalipun. Dapat dia bayangkan wajah kecewa Tanta Anita, kliennya yang meminta pertemuan pada hari ini, ketika membaca pesan yang dia kirim. Urusan Tanta Anita harus menunggu. Lagi pula hari ini masih dihitung Hari Raya Natal ketiga. Meskipun kalender hanya mencatat satu tanggal merah, namun konsep-tak-tertulis silaturahmi di Kota Ende melampaui tiga hari.
Entah sudah berapa kali kakinya memijak tanah lembab berselimut dedaunan kering ini. Alam, bau dedaunan, embusan angin yang berasal dari jejeran pepohonan, juga tingkah macaca fascicularis yang bergelayut dari dahan pohon yang satu ke dahan pohon lainnya, menemani setiap langkahnya. Sebenarnya dia enggan datang ke tempat ini pada hari libur karena suasana terlalu ramai dan bising sehingga kebebasannya bercengkerama bersama Konde Ratu terbatas. Namun rasa rindu tak bisa dia bendung lagi. Dan dia tahu, rasa rindu ini datang karena Konde Ratu menginginkan kehadirannya. Oleh karena itu dia harus datang.
“Kau tahu siapa dia?” tanya Konde Ratu sambil menunjuk sosok perempuan yang berdiri membelakangi, tak jauh dari tempat mereka berdiri di dekat dakutatae (tugu kecil tempat ritual pati ka ata mata atau memberi makan leluhur yang dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu). Penampilan perempuan itu nyaris menyamai Konde Ratu: mengenakan lawo (sarung tenun ikat khas Ende berjenis paling mahal yaitu kembo) dan lambu (baju tradisional perempuan Kabupaten Ende). Bedanya lawo yang dipakai Konde Ratu bersulam emas, rambut digelung menyerupai stupa menuju puncak memahkotai kepala; perhiasan emas menempel pada telinga, leher, tangan, dan kaki (setiap kakinya melangkah terdengar bunyi gemerincing); dan mulut terus sibuk mengunyah sirih-pinang menghadirkan warna merah pada bibir. Sebagai penjaga Pere Konde, Konde Ratu begitu anggun dan agung.
“Saya tidak tahu, Ratu.” Atha menggeleng kepala. Sosok itu sama sekali baru dilihatnya.
“Dia ... Ndoriwoi.” Konde Ratu meludah, berwarna merah karena campuran sirih dan pinang.
Mata Atha membulat sempurna. “Ndoriwoi? Bukannya dia seharusnya berada di Pulau Ende?”
“Huh,” Konde Ratu mendengus. “Perempuan sinting! Sebrangi laut dan melanggar perbatasan hanya untuk bertemu kau. Untungnya dia bukan satu garis nenek moyang kau!”
“Beruntung ... akhirnya saya tahu, kau nenek moyang kami, Ratu,” balas Atha. Pada suatu waktu yang lampau, melalui pesan-pesan yang tersirat, akhirnya dia tahu Konde Ratu adalah moyang (dari lapisan moyang Kakek) dari pihak Ine. Bata Gado, Gado Au, Au-someone, dan seterusnya hingga garis silsilah itu menyentuh Konde Ratu. Pertemuan pertama mereka terjadi saat Atha masih berusia sepuluh tahun.
“Nenek moyang yang diagungkan karena dianggap mampu mengembalikan arwah orang mati yang belum pantas mati?” Konde Ratu melotot. Dia memang penguasa, penjaga, Danau Kelimutu, tapi dia bukan Tuhan. Dia tidak mampu mengusir arwah gentayangan kembali menghuni jasad.
“Kita sudah pernah membahas itu, Ratu. Antara kenyataan dan cerita turun-temurun yang beredar dalam masyarakat ... bertabrakan.” Atha pernah, dengan susah payah, menjelaskan tentang pengkultusan Konde Ratu sebagai penguasa dalam legenda yang sulit dibantah karena berakar selebar Pulau Flores. Dia juga pernah, dengan amat sangat susah payah, curhat tentang film favoritnya: How To Train Your Dragon. Semakin gigih dia ingin Konde Ratu mengerti, semakin sulit penguasa Danau Kelimutu ini paham bahwa Toothless hanyalah nama dari seekor naga berjenis Night Fury.
“Apa makanannya sehari-hari?”
“Maksud Ratu?”
“Tutles itu!”
“Ratu, Toothles hanyalah seekor naga di dalam film. Khayalaaaan.”
“Wargh ... khayalan pun tetap harus ada penjelasan apa makanannya kan? Jenisnya saja kau tahu!”

“Dia mau bertemu kau,” tukas Konde Ratu.
Ndoriwoi membalik tubuh. Secepat cahaya dia tiba di hadapan Konde Ratu dan Atha. Wajahnya tidak secantik legenda yang merebak di masyarakat. Bahkan Kakek Ucup pun keliru mendefenisikan kecantikan Ndoriwoi. Antara kecantikan yang bikin kagum dan kecantikan yang bikin merinding itu ... sangat berbeda.
“Kau ...” tuding Ndoriwoi. “Cukup banyak yang sudah dia beri!” Hidung Ndoriwoi yang keliwat mancung menyentuh hidung Atha.
Atha tercekat. Apakah Ndoriwoi juga tahu perihal silsilah keluarganya? Tentu. Ndoriwoi mengetahui semua perkara tentang Pulau Ende termasuk silsilah keluarga Pua Saleh yang berakar dari Embu Rembotu, nenek moyang dari pihak Baba.
Ndoriwoi tertawa. Tawa panjang dan nyaring, agak memilukan—terdengar seperti lolongan serigala. Atha menoleh kanan-kiri. Pengunjung Danau Kelimutu nampak tidak peduli padanya, tidak peduli pada lolongan Ndoriwoi. Mereka tidak melihat apa-apa selain keindahan panorama alam Gunung Kelimutu yang mendunia beserta tiga kawah warna-warni. “Garis lurus Embu Rembotu. Garis lurus,” desis Ndoriwoi.
Memori Atha membawa tampilan bukit keramat di Pulau Ende dimana terdapat sebuah batu ceper yang berbentuk bulat dan dibawahnya terdapat pasir putih. Batu ini merupakan batu keramat karena sanggup memuat berapa pun jumlah orang yang duduk melingkarinya. Tempat ini menjadi salah satu magnet wisata di Pulau Ende selain Al-Qur’an bertinda emas yang diwarisi oleh Pua Mohamad Pua Rera.
Ndoriwoi menuding wajah Atha. “Kau ... hanya kau. Pilihan. Semua ... kau dapat ... kau dapat ... apa istimewanya kau!?”
Atha mundur selangkah. Tingkah Ndoriwoi, seperti kata Konde Ratu, sinting. Omongannya bak potongan puzzle—membingungkan. Entah apa sebenarnya yang ingin dia sampaikan.
Ndoriwoi menyeringai. “Kau ... si hebat!”
“Tidak usah berbelit-belit, Ndoriwoi!” hardik Konde Ratu. Ketidaknyamanan mulai merasuk.
“Embu Rembotu ...” mendadak Ndoriwoi terisak. “Embu Rembotu. Jahanam!” pekiknya. “Dia pilih kau! Garis lurusnya! Dia menolak menyerahkan semua kemampuannya kepada saya! KEPADA SAYA! Apa susahnya? Dia tidak akan miskin hanya karena menyerahkan satu saja kemampuanya pada saya!”
Konde Ratu terbahak. Geli hatinya mendengar protes Ndoriwoi. “Jadi kau sebrangi laut hanya untuk meratapi nasib, Ndoriwoi?” dia lantas bertepuk tangan. “Kau meminta ijin saya untuk bertemu anak ini di sini ... karena kau takut ketahuan Embu Rembotu?” ejek Konde Ratu, geleng-geleng kepala.
Ndoriwoi menoleh ganas pada Konde Ratu. “Ini hanya persoalan batas, Konde Ratu. Hanya persoalan batas!”
Konde Ratu mencibir. “Kau takut disiksa lagi oleh para laskar jika bertemu anak ini dalam wilayah kekuasaan Embu Rembotu?” Itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan. Kabar penyiksaan Ndoriwoi merebak hingga seantereo Pulau Flores dan sekitarnya. Dia ditertawai oleh leluhur-leluhur dari daerah lain di tanah Flores.
Ndoriwoi bersimpuh di kaki Atha. “Demi langit dan bumi ... ribuan laskar Embu Rembotu sangat kejam.” Dia membayangkan sumur kematian. Neraka dunia. Tepat dimana binatang berbahaya berkumpul dan memandangnya dengan tatapan lapar. Dia bangkit, menampakkan wajah angkuh. “Seharusnya saya! Saya yang berkuasa!”
“Karena apa kau yang pantas berkuasa?” tanya Konde Ratu, tersenyum licik. “Kau siluman yang menyerahkan diri pada manusia. Cinta. Karena cinta kau kehilangan semua kemampuan itu dan sekarang ... kau mengemis pada anak ini?”
“Karena saya ada sebelum Embu Rembotu datang. Dan anak ini ada jauh setelah kami hidup, mati, dan kembali hidup dalam keabadian!” balas Ndoriwoi sengit. Dia menginginkan sesuatu yang bukan haknya.
“Itu salah kau sendiri, Ndoriwoi. Kemampuan anak ini diwariskan oleh leluhurnya. Mana boleh seenaknya kau minta?”
“Jangan ikut campur, Konde Ratu!” hardik Ndoriwoi.
“Kau mengemis datang ke sini dan sekarang melarang saya ikut campur!? Kau mau tahu alasan paling hakiki Embu Rembotu menolak menyerahkan ilmunya pada kau?”
Ndoriwoi meludah—warnanya pun semerah darah. “Diam kau!”
“Kau mau tahu?” tantang Konde Ratu.
“Kau perempuan sialan!” hardik Ndoriwoi.
“Karena kau serakah dan jahat!” raung Konde Ratu. “KARENA KAU SERAKAH DAN JAHAT!” ulangnya, memancing murka Ndoriwoi.
Ndoriwoi merangsek, bernafsu menyerang Konde Ratu. Konde Ratu mencibir seakan berkata: ah, ini sih serangan bocah. Dalam satu kibasan tangan Konde Ratu, tubuh Ndoriwoi terpental menghantam dakutatae. “Berani-beraninya kau, Ndoriwoi. Apa kau tidak sadar? Kau tidak punya kemampuan apa-apa untuk melawan saya! Kau mau melawan saya dengan apa? Dengan apa? Hah?” suara Konde Ratu menggelegar.
“Tunggu pembalasan saya, Konde Ratu! Tunggu pembalasan saya!” jerit Ndoriwoi.
“Kapan kau akan membalas, Ndoriwoi?” tantang Konde Ratu. “Sampai kiamat pun Embu Rembotu tidak akan berbaik hati dengan kau!”
Ndoriwoi jatuh ke tanah ...
Konde Ratu tertawa ...
Pusing kepala yang mendadak menyerang Atha mengaburkan semua obyek pandangan. Sosok Ndoriwoi dan Konde Ratu menyatu bersama latar belakang; langit, pohon, dedaunan. Dia tidak tahu berapa lama ini terjadi. Dirinya siuman di sebuah ruangan berhawa sejuk—cenderung dingin. Seseoarng menghampirinya.
“Atha ...”
“Pak Apo ...?”
Atha mengenali sosok Alfonsus Tupen, atau Apo, salah seorang jagawana di Taman Nasional Kelimutu. Laki-laki berdarah Adonara dan Pulau Timor ini menikahi Yuditha Ngga’a, teman SMA Diba yang kini bekerja di Universitas Flores. Atha berusaha bangkit dari tempat tidur kayu. Pusing di kepala masih terasa. Dia berusaha melawannya.
“Jangan dulu bangun kalau masih pusing,” saran Apo. “Masih ingat tadi ... apa yang terjadi?” tanya Apo.
Seperti biasa ... saya bertemu Konde Ratu. Penjaga Pere Konde. Penguasa Danau Kelimutu.
Saya bertemu Ndoriwoi. Perempuan legendaris dari Pulau Ende yang murka pada leluhur saya.
“Pasti karena saya belum sarapan ...” Atha coba untuk berdiri.
“Sendirian?” tanya Apo karena dia tidak melihat Diba atau Ucup menemani Atha.
Kening Atha mengerut. “Saya datang bareng Ucup. Tapi tadi dia ... tidak tahu ke mana. Mungkin ke puncak ...”
“Hubungi Ucup, kabarkan keberadaan kau di sini. Jangan sampai dia bingung cari-cari kakaknya,” saran Apo.
Atha mengangguk. “Terima kasih.” Dia tersenyum. “Mungkin sekarang Ucup malah kepincut turis cantik. Dia biasa begitu.”
Apo tertawa renyah. “Musim liburan, tidak hanya turis cantik yang datang, tapi juga cewek-cewek, ABG yang tidak kalah cantik,” katanya. “Oh ya,” Apo menyeletuk. “Tadi kami temukan kau di dekat dakutatae ...”
Atha tahu, dakutatae bukanlah tujuan utama semua wisatawan yang datang ke Danau Kelimutu.
“Hanya mau lihat-lihat tempat pati ka ata mata, saja ...”
“Agustus nanti wajib datang.”
Insya Allah.”
“Biasanya hanya Diba yang sering kelihatan setiap upacara pati ka ata mata.”
“Iya, hehe. Dia kan si Kaki Kereta ... macam kereta api, kakinya jalaaaan terus.”
“Ha ha ha. Betul. Oke, saya ke depan dulu, Tha,” pamit Apo. “Hubungi Ucup.”
“Iya.”
Atha berjalan menuju pintu. Di benaknya masih membayang wajah Ndoriwoi. Agak menakutkan memang. Semoga Konde Ratu, tidak mengijinkan lagi perempuan itu melanggar perbatasan antara Ende bagian Lio dengan Ende bagian pesisir.


***
Bersambung.

4 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. Sayang sekali ya, pertarungannya hanya sedikit dikisahkan. Penjabarannya kurang memuaskan pembaca. Adu silatnya tidak sampai ke imajinasi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tak jago saya soal adu silat hihihi :D
      Makasih sudah membaca ...

      Hapus
  2. Pingin lihat Ndoriwoi nah encim....😂😂😂😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga pengen bisa lihat dia nah hahahaha. Kira-kira mirip Valak itu hihihi :P

      Hapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak