Ekowisata di Taman Nasional Kelimutu


Apa kunci seseorang bisa menulis dengan baik meskipun tidak selalu benar? Membaca. Banyak! Tidak cukup seratus. Tak terhingga kata, kalimat, paragraf, buku, yang dibaca untuk bisa menjadi pedoman dan bekal menulis dengan baik. Ya, membaca itu mudah dan sangat berfaedah, namun tidak banyak orang suka melakukannya. Padahal, membaca bukan pekerjaan berat seperti mencangkul sawah, menjinakkan bom, atau menganalisa perilaku manusia pada jaman digital. Sungguh sangat saya sayangkan jika masih ada kaum muda yang jarang membaca (dan menulis). Jangankan menulis skripsi, tesis, dan disertasi yang butuh banyak literasi, menulis novel pun harus ada literasinya, informasi dasarnya, dan lain sebagainya. Oleh karena itu saya mengatakan; novel adalah gabungan antara fiksi dan non-fiksi.

Beberapa bulan terakhir, saya tidak ingat tepatnya, karena sesuatu yang penting, maka saya membaca sebuah buku (disertasi) yang ditulis oleh Dr. Josef Alfonsius Gadi Djou. Disertasi tersebut berjudul “Ekowisata Berbasis Masyarakat di Taman Nasional Kelimutu Kabupaten Ende”. Pak Devi, demikian kami memanggil beliau, adalah dosen pada Fakultas Ekonomi di Universitas Flores sekaligus Kepala Pusat Studi Pariwisata Universitas Flores. Mendapat kesempatan membaca disertasi tersebut seakan menyuntik nutrisi lengkap ke dalam otak saya tentang konsep ekowisata dan Community Based Tourism (CBT) atau kita sebut pariwisata berbasis masyarakat. Analisis SEM yang digunakan di dalam penelitian ini termasuk mengukur keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pelestarian.

Dari disertasi tersebut saya jadi tahu konsep ekowisata dan CBT yang mengajak masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam dunia pariwisata. Puluhan literasi mendukung penelitian tersebut. Wawancara tidak saja dilakukan dengan pengelola (pemerintah) Taman Nasional Kelimutu tetapi juga dengan masyarakat desa penyangga Taman Nasional Kelimutu, dan wisatawan yang berkunjung ke sana (pandangan responden). Selain itu, penelitian ini juga mengutarakan tentang Taman Nasional Kelimutu itu sendiri seperti bentuk dan kondisi atraksi budaya masyarakat, atraksi alam, atraksi flora dan fauna, dan atraksi buatan. Salah satu bentuk atraksi buatan yang ada di Taman Nasional Kelimutu adalah Desa wisata, Arboretum, Insektarium, Herbarium, Agro-ecotourism, dan Rumah Pesanggrahan Belanda. Jujur, saya sendiri belum pernah ke Arboretum-nya, hehe. Nanti kalau ke Danau Kelimutu lagi, saya harus tiba di Arboretum ini.

Atraksi buatan ini mengingatkan saya pada salah satu seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pariwisata. Dalam Seminar Nasional bertema Melestarikan Budaya Lokal Sebagai Aset Pariwisata, dengan pemateri Dr. Bambang Suharto, M.M.Par. tersebut disinggung soal atraksi buatan ini. Kepala Balai Taman Nasional Kelimutu Persada Agussetia Sitepu menceritakan tentang ledakan pengunjung saat hari libur tiba. Pak Bambang menyarankan dan menjelaskan tentang pembagian pengunjung agar tidak semua pengunjung secara serentak menuju Danau Kelimutu dan agar pengunjung tidak terlalu lama berada di Danau Kelimutu (untuk memberikan kesempatan pada pengunjung lainnya) dan menghabiskan lebih banyak waktu di lokasi atraksi buatan ini. Setidaknya yang saya tangkap dari omongan Pak Bambang adalah lokasi atraksi buatan harus dibuat ramah terhadap keluarga dan anak-anak, yang dilengkapi dengan rest area (meja kursi tempat duduk mengaso dan makan, permainan anak yang sederhana, kamar mandi, tempat ibadah, dan lain sebgainya) yang memadai, agar pengunjung betah.

Kembali pada disertasi “Ekowisata Berbasis Masyarakat di Taman Nasional Kelimutu Kabupaten Ende”, hasil analisis SEM, wawancara, dokumentasi, dan observasi, agak mengejutkan saya. Ternyata tidak semua kegiatan di lingkungan Taman Nasional Kelimutu (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pelestarian). Padahal partisipasi masyarakat dalam ekowisata dan CBT merupakan elemen dasar. Kalau pelaksanaan, menurut saya, masih melibatkan masyarakat, salah satunya saya lihat dalam ritual Pati Ka Ata Mata (memberi makan orang mati/leluhur) yang dilaksanakan setiap pertengahan Bulan Agustus (masuk dalam kalender wisata/festival Kabupaten Ende).

Pendapat pribadi saya sebagai wisatawan yang berkali-kali berkunjung ke Danau Kelimutu adalah bahwa tujuan pergi ke Danau Kelimutu ya hanya untuk berada di puncaknya, melihat tiga kawah, foto-foto, dan pulang. Sepanjang perjalanan dari percabangan Moni - Danau Kelimutu sampai ke Danau Kelimutu, hanya ada Desa Agrowisata Waturaka saja yang ditandai dengan sepeda kayu raksasa. Bagaimana dengan masyarakat dari desa-desa lain di sepanjang jalan itu? Padahal ada persawahan dan perkebunan subur yang bisa dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat mengaso para wisatawan. Apa saja yang bisa dilakukan masyarakat di desa yang letaknya di pinggir jalan untuk menjadikan desa mereka juga diminati wisatawan selain Danau Kelimutu dan Desa Agrowisata Waturaka?

1. Saung Pinggir Sawah

Wisawatan bakal senang duduk mengaso di saung pinggir sawah yang adem itu sambil menikmati jagung rebus dan moke putih. Apalagi kalau ditambah dengan ikan asin dan ngeta. Sadap parskali lah itu. Konsep ini ada di beberapa wilayah di sekitar Kota Ende seperti di saung jagung KM 14.

2. Atraksi Bajak Sawah

Saat musim tanam padi, masyarakat bisa menjadikan kegiatan membajak sawah sebagai atraksi wisata yang menggiurkan. Wisatawan boleh membajak sawah (dengan kerbau) dan ditarik tarif Rp 20.000 per orang. Nando Watu, sahabat saya di Detusoko yang aktif dalam komunitas RCM Detusoko, sudah melakukannya. Kalau tidak salah waktu itu ada turis dari Jepang yang ikut keluarganya Nando membajak sawah menggunakan tenaga kerbau. Tentang sosok Nando Watu yang emezing bakal saya bahas di lain pos ya. Panjang soalnya. Hahaha.

3. Atraksi Menenun dan Menganyam

Tenun ikat merupakan salah satu cinderamata khas daerah NTT yang saya pandang sebagai hasil budaya yang disebut karya jenius. Masyarakat desa bisa menyiapkan saung tempat para ibu menenun. Yang mau menonton dan bertanya-tanya boleh ditarif tarif, apalagi yang mau mencoba ikut menenun. Kan asyik tuh. Kalau ada yang macam begini, saya orang pertama yang bakal coba hahaha. Selain tenun ikat, bisa juga atraksi menganyam daun pandan/lontar menjadi weti (kotak anyaman) yang oleh masyarakat biasa digunakan sebagai tempat menyimpan sirih pinang. Dijadikan tas selempang juga bagus loh.

Dan masih banyak hal lain yang bisa dimanfaatkan masyarakat lokal untuk memperkenalkan budaya lokal kita, yang berpotensi ekonomi (menghasilkan keuntungan). Yang saya tulis (3 poin) di atas mungkin ada, tapi tidak di pinggir jalan dan bukan atraksi harian (terkhusus poin 1 dan 3).

Itu ide saya pribadi, berdasarkan pengalaman dan pengamatan setiap kali pergi ke Danau Kelimutu. Lempeng-lempeng saja sih jalanan sepanjang cabang jalan hingga puncak Danau Kelimutu. Kita hanya melihat beberapa penduduk lokal berjualan jagung rebus, kacang rebus, dan cemilan pabrik, di depan tempat penjualan tiket. Tapi tidak di sepanjang jalannya. Padahal, setahu saya, banyak orang berusaha bukan karena produknya saja melainkan karena lokasinya. Oleh karena itu saya sering dengar orang bilang, "kafe itu sih bukan jual makanan tapi lokasinya". Karena secangkir kopi bisa kita seduh di rumah, tapi secangkir kopi dan pemandangan alam matahari terbenam, belum tentu tersaji di ruang tamu rumah kita.

Menurut kalian yang pernah datang ke Danau Kelimutu, apa lagi yang bisa dilakukan masyarakat lokal sepanjang jalan itu untuk menarik minat wisatawan terhadap desa mereka?

Setelah disertasi milik Pak Devi, saya jadi pengen membaca disertasi lainnya oleh para doktor di Universitas Flores. Saya rasa, semua disertasi (dan tesis) wajib untuk dibaca karena mengandung banyak informasi dan ilmu untuk memperkaya wawasan kita. Tentu hal itu harus didukung pula dengan pengalaman pribadi kita agar bisa melihat dan tahu perbedaannya, dan mungkin memberikan saran tertentu.

Selamat berakhir pekan!



Cheers.

1 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. Nonton proses pembuatan kain tenun di lokasinya langsung pengin banget terlaksana ... kesannya unik ya lihat dari uraian lembar benang dipintal jadi kain motif keren.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak