Bakat Bukan Takdir



 Gambar diambil dari Google.

Pengantar


Pertanyaan sekaligus tantangan tersebut dapat kalian temui pada lembar ke-empat sebuah buku berjudul Bakat Bukan Takdir, diterbitkan oleh Penerbit Buah Hati dan TemanTakita[dot]Com, yang ditulis oleh Bukik Setiawan dan Andrie Firdaus. Bakat Bukan Takdir merupakan seri dari buku lain yang ditulis oleh Bukik (Twitter: @bukik) berjudul Anak Bukan Kertas Kosong.

Menelaah pertanyaan siapkah anak anda berkarier cemerlang? mengingatkan saya pada semua kuliah umum dan seminar yang pernah digelar di Universitas Flores oleh narasumber lokal, regional, maupun nasional. Tema-tema yang disampaikan oleh para narasumber selalu bermuara pada bagaimana caranya mahasiswa mengembangkan potensi diri serta melihat peluang yang ada untuk menciptakan lapangan kerja baru yang tidak saja berguna bagi dirinya sendiri tetapi juga orang lain di sekitarnya. Bahkan Bupati Ende, Bapak Marsel Petu, dalam satu kesempatan kuliah umum pernah secara tegas mengingatkan mahasiswa untuk tidak PNS-oriented.

Umumnya para orangtua di daerah kami punya satu siklus dasar dalam hal kehidupan anak. Siklus tersebut adalah anak terlahir ke dunia, dibesarkan, memperoleh pendidikan PAUD hingga SMA, kuliah di kota besar agar terlihat bergengsi, kembali ke daerah kami, dan yang paling penting harus menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil), menikah, dikaruniai anak – sikluspun berulang. PNS ini ibarat dogma yang tertanam kuat hingga ke inti bumi. Satu-satunya karier yang harus dikejar karena menjamin hidup makmur hingga akhir hayat.
Dogma PNS itu membuat saya berpikir ke belakang tentang bagaimana penciptaannya. Siapapun yang terdogma-PNS jelas tidak open-minded. Dogma itu tercipta akibat dari kurangnya wawasan orangtua dan lingkungan keluarga akan karier-karier yang lain yang dapat dititi sejak dini berdasarkan potensi setiap individu. Jaman berubah, dogma PNS tergerus, dan kemudian di daerah kami begitu banyak orang-orang yang sukses tanpa punya pemikiran serius untuk menjadi PNS. Om Benny Laka begitu sukses mendulang Rupiah melalui pengembangan potensi dirinya sendiri: seorang seniman yang menghasilkan patung Yesus Kristus raksasa di depan Gereja Kathedral di Kota Ende, Taman Kota Reinha di Kota Larantuka, hingga dekorasi pelaminan pesta perkawinan. Atau, saya contohkan diri sendiri yang kemudian berkarier di ranah dokumentasi video bukan hanya karena bakat melainkan juga karena hobby.

Namun ... itu terjadi karena Om Benny Laka, atau saya, menyadari potensi diri dan berhasil membaca peluang yang ada. Dari diri kami sendiri. Apakah sudah terlambat? Tidak juga. Namun, alangkah lebih bagusnya jika setiap individu mengetahui potensi dirinya sejak usia dini. Caranya? Ini yang penting: orangtualah yang berkewajiban melakukannya dengan mengantongi panduan paling keren yaitu buku berjudul Bakat Bukan Takdir.

Bakat Bukan Takdir


Membaca pengantar yang saya tulis di atas bermuara pada sebuah jawaban paling masuk akal; buku berjudul Bakat Bukan Takdir. Ini merupakan buku yang memandu para orangtua untuk mengenali dan menstimulasi kecerdasan majemuk anak, mengenal dan memilih bakat anak yang perlu dikembangkan, mengembangkan kegemaran dan ketekunan belajar anak, dan membuat portofolio bakat anak yang menjadi modal bagi anak dalam berkarier (sumber: dari sini).

Kecenderungan yang terjadi selama ini adalah orangtua selalu memaksakan kehendaknya pada anak-anak. “Harus jadi Polisi seperti Ayah!” atau “Jadi PNS itu enak, terima pensiun sampai akhir hayat, Nak!” atau “Kau harus jadi perawat karena itu satu-satunya peluang paling memungkinkan saat ini untuk hidup baik.” Secara tidak sadar kalimat-kalimat itu merupakan borgol yang membelenggu potensi lain yang ada dalam diri seorang anak. Buku Bakat Bukan Takdir mengajarkan anda, para orangtua, untuk tidak memaksakan anak menjadi seorang polisi ketika ketika dia justru tertarik pada dunia masak-memasak. Quote halaman 87 buku Bakat Bukan Takdir berbunyi:

“Jangan minta buah mangga pada pohon rambutan, tapi jadikan setiap pohon buahnya manis.” ~ Mohammad Syafei, Tokoh Pendidikan Indonesia.

Saya rasa perkembangan jaman telah membuka wawasan para orangtua untuk tidak mencemooh anak laki-lakinya yang suka memasak. Melihat Bara, David Rocco, Miguel, atau tetangga saya yang bernama Agus, para orangtua tentu menyadari tidak selamanya anak laki-laki menjadi polisi dan anak perempuan menjadi chef.

Di dalam buku Bakat Bukan Takdir terdapat panduan latihan untuk para orangtua beserta kolom/form untuk mengisinya. Praktis hal tersebut mempermudah orangtua untuk melihat potensi pada diri anak—untuk kemudian membimbingnya. Untuk lebih membantu orangtua pada halaman 207 terdapat Daftar Contoh Pertanyaan Menggugah, yang dilanjutkan dengan Latihan Percakapan Apresiatif pada halaman 210, dan tabel pengisian hasilnya pada halaman 211 (topik bahasan, respon anak, dan hasil refleksi). Dari sini para orangtua akan melihat apakah anaknya lebih suka pelajaran tertentu dari pelajaran lainnya, atau kebiasaan tertentu, atau kegiatan tertentu, dan tentu saja bakat anak tersebut.

Mengulas buku Bakat Bukan Takdir tentu tak ada habis-habisnya, disertai dengan contoh yang sehari-hari saya amati, karena begitu banyak panduan dan pelajaran berharga yang bisa dilakukan dan dipelajari para orangtua dalam hal mengenal potensi anak dan membimbingnya ke arah pengasahan sebagai modal meniti karier yang sesuai dengan bakat, kemampuan, dan kesenangan. Jika pekerjaan menjadi hobby yang dilakukan dengan senang hati karena sesuai kemampuan maka kariernya pasti cemerlang.
Di mana membeli buku ini?

Mudah. Buku Bakat Bukan Takdir sudah tersedia di toko-toko buku di Indonesia. Selamat berburu buku Bakat Bukan Takdir, dan selamat menjadi orangtua yang keren!

Penutup

Sejak dulu saya paling benci hitung-hitungan. Tepat, saya selalu sakit hati setiap kali pelajaran Matematika tiba. Rasa malas mendadak muncul berlipat-lipat. Di rumah, saya menulis hal-hal yang saya amati sehari-hari di kertas dan buku tulis. Kakak ipar saya, Mbak Wati, sering menyaksikan saya menyapu rumah sambil mulut komat-kamit semacam orang membaca mantra. Padahal bukan mantra yang saya baca melainkan saya sedang bercerita pada sapu dan lantai. Kadang-kadang saya mengarang cerita impian kepada mereka. Fakta ini membuat Mbak Wati geleng-geleng kepala (ketika dia mendekat dan mendengar suara pelan saya bercerita).

Orangtua saya, yang keren itu, pernah berkata, “semua pelajaran itu harus dipelajari sungguh-sungguh!” tapi mereka selalu saja merecoki saya dengan buku, buku, buku, dan buku karena melihat minat saya pada dunia membaca dan menulis. Saat saya belum bersekolah di SDI Ende 11 (tempat Mamatua menjadi Kepsek) dan juga belum TK, Mamatua selalu membawa buku dari perpustakana sekolah untuk saya baca di rumah (karena orangtua guru, saya bisa membaca sejak belum TK). Bahkan Om Frans Wangge, sahabat Bapa, setiap kali bertemu saya bilang begini, “Haaa kau ini nih yang kalau Bapa pergi ke Surabaya pesanannya cuma buku!” Satu lagi, sejak SD pita mesin ketik Bapa selalu sering diganti karena setiap malam saya mengetik puisi dan cerpen.

Mungkin orangtua sudah tahu potensi saya memang bukan di dunia hitung-hitungan namun mereka belum tahu bagaimana caranya membimbing ke arah meniti karier cemerlang dengan melihat bakat. Untungnya orangtua saya juga tidak terdogma PNS karena bagi Bapa saya orang kreatif itu tidak akan pernah kelaparan sepanjang hidupnya. Tidak ada satupun anak Bapa saya yang menjadi PNS. Kakak pertama saya, Abang Nanu (suaminya Mbak Wati), sekolah teknik tapi bakat mengantarnya pada dunia advertising; dunia desain, dunia seni, dunia bisnis.

Ketika SMU saya memilih jurusan bahasa dan orangtua saya hanya bilang, “semua Kakak kau itu anak IPA tapi kalau kau suka masuk Bahasa ... itu pilihan kau.” Dan terbukti pekerjaan utama saya adalah bergelut dengan dunia berita, opini, artikel ilmiah, sampai dokumentasi. Tidak ada hitung-hitungan di dalamnya. Haha.

Buku Bakat Bukan Takdir benar-benar menginspirasi dan membuat saya flashback terhadap kehidupan saya sendiri dan bagaimana pola orangtua mendidik anak. Buku ini juga akan menjadi panduan saya dan Mamatua dalam mendidik para krutu (bocah tetangga) yang datang ke rumah untuk belajar. Fyi; rumah saya ini semacam tempat belajar luar sekolah bagi para bocah. Setiap hari mereka datang ke rumah membawa buku untuk belajar bersama Mamatua. Karena usia mereka masih SD, sambil merem pun Mamatua jago mengajari mereka hitung-hitungan, Bahasa Indonesia, sampai pengetahun umum. Dengan buku ini setidaknya kami jadi punya panduan baru menggali potensi para krutu meskipun mereka tidak berhubungan darah dengan kami.

Wassalam.

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak