Apa Kabar Mama Muna?

Mama Muna

Saya tidak bercerita tentang pengungsi Rokatenda, tentang kegiatan charity act for Rokatenda, atau tentang aksi #1MugBeras yang dilakukan oleh Flobamora Community untuk membantu para pengungsi. Saya ingin bercerita tentang Mama Muna. Seorang perempuan ambang 40 tahun yang gigih menjadi corong bagi suara-suara sesama pengungsi yang berada di Desa Mausambi, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende. Bagaimana tentang Gunung Rokatenda, Pulau Palu'e, dan kisah pengungsi, juga sepak terjang Komunitas Blogger NTT menggalang bantuan, teman-teman bisa melihatnya di http://bloggerntt.org atau search di Google *mulai cari gara-gara* hahaha.

Kami, saya dan Mama Muna, berkenalan pada tanggal 9 Februari 2013, saat setelah tanggal 3 Februari 2013 Gunung Rokatenda meletus dini hari. Dini hari itu saya masih terbawa euforia perayaan HUT Flobamora Community yang ke-4. Saya catat namanya : Wilhelmina Muna. Untung ada Wilhelmina-nya karena sebelumnya saya sempat bertanya-tanya apakah Mama Muna ini beragama Islam? Bukankah penduduk Pulau Palu'e itu beragama Katolik? Catatan 1 : nama bisa menipu kalau tidak dilihat dari nama lengkapnya #Monyonglogi. Mama Muna adalah Koordinator pengungsi Rokatenda yang berada di Desa Mausambi, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende.

Sejak Februari hingga saat saya menulis postingan ini, berkali-kali saya 'kencan' dengan Mama Muna baik itu face to face maupun lewat SMS dan telepon. Komunikasi yang kami bangun selalu baik. Senangnya adalah Mama Muna lah yang menjadi Koordinator pengungsi, bukan seorang laki-laki pemabuk yang lagaknya kayak bos besar. Untungnya adalah Mama Muna yang menjadi Koordinator pengungsi karena dia mampu berkomunikasi dengan baik sehingga lawan bicara dapat menangkap dengan baik maksud omongannya, dan saya secara pribadi paham betul betapa dia sangat hati-hati memilih kata. Bijak? Iyess, demikianlah. Catatan 2 : komunikasi yang baik akan membantu diri kita dipahami oleh orang lain, dan membuat orang lain berpikir posifit tentang kita #Monyonglogi.

Suatu hari saat kami mengunjungi kamp pengungsi untuk ke sekian kali, saya mendengar kabar bahwa Mama Muna pernah diadu ke Polsek Maurole dengan tuduhan : menggelapkan bantuan untuk pengungsi. Dengan jiwa besar dia menghadapi semuanya dan merasa orang-orang yang menuduhnya itu memang tidak bisa diatur. Beras yang menumpuk bukan untuk dibagikan dalam sekejap mata karena saat itu posisi mereka tidak bisa dibilang menguntungkan. Beras dibagi berdasarkan peraturan yang ada dan bukankah semua pengungsi tetap bisa makan dan tidak sampai kelaparan? Setidaknya pengungsi yang ada di Kecamatan Maurole. Meski berapi-api dalam bercerita, tetapi Mama Muna tetap menunjukkan kepentingan berbahasa di atas segala-galanya. Catatan 3 : emosi itu perlu, tetapi lebih perlu lagi kontrol terhadap emosi #Monyonglogi.

Terakhir pergi ke kamp pengungsi pada Minggu, 16 November 2013. Bertemu kembali dengan Mama Muna setelah sekian lama menumpuk lah cerita. Meskipun didera kesusahan karena tiada listrik (Kepala PLN Cabang Maurle melarang penarikan arus listrik dari rumah penduduk setempat), atau masalah tanah yang hendak mereka sewa masih dalam proses perundingan antara pemilik tanah dengan Mosalaki setempat, Mama Muna tetap tersenyum, tetap bercerita dengan baik, tetap menyajikan kami kopi. What a big heart she has. Catatan 4 : bersabar adalah sebagian dari iman. Tuhan sayang orang sabar #Monyonglogi. Semoga Tuhan senantiasa memberkati Mama Muna, Amin.

Bagi saya Mama Muna bukan sekadar Koordinator pengungsi Rokatenda di Desa Mausambi. Dia sudah saya anggap sebagai saudara sendiri yang layak diketaui kabarnya lewat SMS atau pun telepon. Bila bukan saya yang mengirimkan SMS, maka Mama Muna lah yang mengirimkan kabar lewat SMS atau telepon. Mengetahui kondisi mereka di sana, bagi saya, adalah penting. Karena tanggung jawab kita tidak hanya soal menyampaikan amanat teman-teman seluruh Indonesia (dana) dalam bentuk beras, dan lain-lain kebutuhan rumah tangga. Lebih dari itu, saya ingin terus 'mendampingi' mereka hingga bisa berdiri sendiri tanpa bantuan lagi. Sekarang mereka telah berusaha berdiri sendiri. 70% dapat berdiri sendiri setelah bencana alam tersebut.

Satu hal yang perlu saya catat dari Mama Muna adalah TIGA KATA (sebenarnya empat :p) yang tidak pernah lupa diucapkannya :
1. Tolong.
2. Maaf.
3. Terima kasih.
Sebenarnya itu adalah pelajaran paling mendasar bagi umat manusia untuk selalu mengucapkan tiga kata tersebut. "Terima kasih, Ibu. Jangan bilang sedikit, beras ini sudah bantu kami tidak lapar ..." demikian selalu yang diucapkan Mama Muna. Dari dia saya belajar banyak hal. Dalam hidup kita hars fight! Dan dari dia saya belajar bahwa saat saya berkata, "Tuhan, kenapa hidup saya begini?" dalam keluhan-keluhan memuakkan, sesungguhnya ada orang lain yang hidupnya jauh lebih susah dari saya. Let's enjoy life, then, guys!

Suatu waktu nanti saya ingin tidur di Desa Mausambi, merasakan kehidupan mereka selama 24 jam. Sanggupkah saya? Insya Allah sanggup.


Wassalam.

2 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. "Terima kasih, Ibu. Jangan bilang sedikit, beras ini sudah bantu kami tidak lapar ..."

    ternyata mama muna saja panggil ncim ibu hehehe

    BalasHapus
  2. Eh nama tidak selamanya mencerminkan latar belakang seseorang loh. Teman saya namanya Daniel tapi dia seorang Muslim yang taat. Dia Muslim bukan karena mualaf tapi karena memang lahir dari keluarga Muslim. Sadar namanya tertulis di Alkitab, dia memilih mempertahankannya karena orang tuanya punya maksud lain ketika memberikan nama itu. Jadi ya, begitulah. hehehe.

    Mama Muna cantik skali #eh #khilaf

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak