Ritual "Pati Ka Du'a Bapu Ata Mata"



Di Lokasi

Sudah lama saya mengidamkannya. Bukan karena merasa diri sebagai pecinta budaya tetapi rasanya lucu jika para bule berbulu pirang berbondong-bondong datang ke Danau Kelimutu untuk menyaksikannya sementara saya justru terpana di layar kaca menonton Law & Order. Maka saya putuskan, setelah memperoleh kabar dari Om Apo Tupen (Balai Taman Nasional Kelimutu), untuk pergi ke Danau Kelimutu pada hari yang ditetapkan. Untuk Flobamora Community lagi-lagi Balai Taman Nasional Kelimutu mengeluarkan dua buah surat (Simaksi) agar kami tak perlu dipungut biaya untuk masuk ke kawasan konservasi Taman Nasional Kelimutu dan, tentu saja, kami boleh menyaksikannya dari jarak sangat dekat. Tidak sembarang orang loh boleh mengambil gambar dari jarak yang sangat dekat itu.


Gawi oleh Para Mosalaki (Foto milik Mas Heroe)

Menyaksikannya? Apa sih yang ingin sekali saya saksikan? Itu … yang sudah lama saya idamkan! Menyaksikan sendiri ritual ‘Pati Ka Ata Mata’. Dalam bahasa Ende wilayah Lio, pati ka ata mata berarti memberi makan orang mati. Dalam pengertian sesungguhnya dalam ritual ini : memberi makan/sesaji kepada arwah leluhur/nenek moyang sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur. 

Rabu, 14 Agustus 2013, seperti biasa saya telat bangun padahal semalamnya bukan Ryan Gosling yang hadir di dalam mimpi. Fauwzya dan Kiki stress karena lelah menggedor pintu rumah. Seharusnya kami sudah berangkat ke Danau Kelimutu pukul 07.00 tetapi karena ulah saya kami baru berangkat ke sana pukul 08.00, jelas sangat terlambat karena acara sudah akan dimulai pukul 09.00 *maafkeun* Begitu hendak keluar rumah, Mas Heroe muncul. Jadinya kami berempat lah yang mewakili Flobamora Community.

Kami tiba di pelataran parkir Danau Kelimutu sekitar pukul 10.00, disuguhi pemandangan luar biasa yaitu puluhan mobil dan sepeda motor diparkir hingga ke sisi kiri jalan. Manusia tumplek pula di sana. Tak perlu menunggu lama kami langsung ngebut mendaki ke areal helipad, sebelum tangga pertama menuju tugu Danau Kelimutu. Di sana kami temui lebih banyak lagi pengungjung baik itu wisatawan asing, wisatawan lokal, penduduk dari desa-desa penyangga Danau Kelimutu, PNS dan instansi terkait, juga pegawai dari kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Ende (jelas mereka wajib hadir). 

Karena sudah sangat terlambat, kami melewatkan ritual ‘Pati Ka Ata Mata’-nya sendiri tetapi masih sempat menyaksikan ujung ritual sebelum akhirnya para Mosalaki menari Gawi. 

Bicara soal Mosalaki, kita bicara soal batas wilayah. Kawasan Taman Nasional Kelimutu secara administratif berada dalam wilayah lima kecamatan, yakni Kecamatan Wolowaru, Kelimutu, Ndona Timur, Ndona, dan Detusoko. Dalam ritual kemarin ada 15 Komunitas Adat yang bergabung dalam ritual memberimakan arwah nenek moyang tersebut. Masing-masing Komunitas Adat diwakili dua sampai tiga Mosalaki. Mosalaki/Tetua Adat terutama disebut Mosalaki Pu’u. Yang bekerja sama dengan Mosalaki Pu’u disebut Mosalaki Riabewa. 

Proses ritual dimulai oleh sembilan Mosalaki yang mewakili sembilan suku dengan pakaian adat : Luka Lesu. Mereka membawa sesaji berupa : nasi (dari beras merah) dan daging babi (Nake Wawi) dalam wadah Pena/Pana (wadah terbuat dari tanah liat, berwarna hitam karena proses pembakaran dan pembentukan) ke Dakutatae. Dakutatae sendiri merupakan batu alam yang disusun sebatas pinggang manusia dewasa hingga terlihat seperti tugu mungil. Di kaki Dakutatae, di atas batu-batu penyangganya, diletakkanlah Pena/Pana tersebut berkeliling tugu. Tak lupa ceret dan gelas di atas tatakan yang semuanya terbuat dari tanah liat. Di dalam ceret tersedia arak khas Ende bernama Moke. Tak sembarang Moke, biasanya, yang disuguhkan untuk arwah leluhur. Mokenya disebut Moke Jengi Jila. Jengi dalam bahasa Lio artinya bakar, sedangkan jila artnya menyala. Moke Jengi Jila disebut Moke bakar menyala. Selain makanan dan minuman para Mosalaki juga menyajikan rokok, sirih pinang dan kapur. 

Para Mosalaki Pu’u secara bersama-sama menuju Dakutatae dan bersama-sama pula meletakkan sesaji. Artinya; mereka semua kedudukannya tidak ada yang lebih tinggi atau pun lebih rendah.

Usai memberi makan arwah leluhur, dimulai lah tarian Gawi. Para Mosalaki menari Gawi mengelilingi tugu batu tersebut/Dakutatae, salah seorang-nya berdiri di tengah sebagai ‘komendan’ alias pemberi komando. Gawi yang disajikan tak seperti Gawi yang kita lihat di pesta-pesta di Kota Ende, teman. Ini Gawi-nya benar-benar asli, menggunakan tutur bahasa Lio. Saya sangat beruntung berkesempatan menyasikan dari dekat, merekam kegiatannya. Jadi, menurut saya, Gawi asli ini memiliki prolog, klimaks dan epilog. Ada halus, kasar, dan kembali halus. Keren, ya? Mungkin itu lah fungsi si ‘komendan’ tadi, member aba-aba kepada yang sedang menari Gawi.

Dengan selesainya tarian Gawi oleh Para Mosalaki maka berakhir pula ritual ‘Pati Ka Ata Mata’ ini. Para Mosalaki dan orang-orang meninggalkan Dakutatae yang mana diserbu oleh pengunjung yang ingin memakannya … diijinkan, kok. Saya, karena Muslim, tentu tak bisa memakan Nake Wawi hahaha tapi puas karena bisa nge-shoot dari dekat. Moke-moke dituangkan dan semua orang bahagia. Pena/Pana lantas dikembalikan ke sebuah pondok. Di pondok tersebut saya sempat mengobrol dengan wisatawan asing yang asyik menikmati sisa sesaji tersebut. Wow.

Kembali ke pelataran parkir, sepanjang jalan saya, Om Apo, dan Mas Heroe bertemu dua Ibu yang sedang memetik buah dari tanaman/rerumpunan arngoni (vaccinium varingiaefolium), tumbuhan endemik yang tumbuh subur di sekitar puncak Gunung Kelimutu. Ketika saya tanya kenapa mereka memetiknya, katanya buah tersebut baik untuk bekal mandi anak mereka (dicampur dengan air mandi) agar anak-anak memiliki tulang yang kuat dan sehat. Saya baru tahu. Hahaha. Itu lah untungnya bertanya. Ingat; malu bertanya sesat di jalan. Bisa saja kalau tidak bertanya saya beranggapan dua Ibu itu kurang kerjaan :D

Di pelataran parkir ini sudah disusun kursi-kursi. Ya, boleh dibilang ini lah saatnya resepsi dari ritual ‘Pati Ka Ata Mata’. Acara dimulai dengan nyanyian oleh penyanyi lokal ; lagu daerah. Kemudian sambutan dari yang mewakili para Mosalaki, lantas ada juga sambutan dari Bapak Marsel Petu selaku Ketua DPRD, juga seorang Ibu yang mewakili Bapak Bupati Ende. Selain si Ibu, semuanya memberikan sambutan menggunakan bahasa Ende-Lio. Nah, setelah sambutan-sambutan ini lah dimulai atraksi oleh perwakilan desa-desa yang ada. Tapi tidak semua desa. Ada tarian daerah, lantas semacam miniature pembuatan Kedha (rumah adat induk) diteruskan dengan Gawi, kemudian ada pula permainan rakyat (oleh anak-anak) bernama Sangga Alu.

Usai atraksi-atraksi acara dilanjutkan dengan makan siang bersama. Makan siangnya keren karena wadah untuk makan siang itu terbuat dari tempurung kelapa loh *mupeng* tapi kami tidak bisa berlama-lama. Harus segera pulang ke Ende! Yuk.

… beberapa fakta yang perlu diketahui,

Tahun ke-5 :

Ritual ‘Pati Ka Ata Mata’ di tahun 2013 merupakan yang ke-5 diselenggarakan.

Menolak Bencana :

Menurut informasi yang saya peroleh, ritual ini dimaksudkan untuk menaikkan do’a kepada arwah leluhur. Untuk menolak bala, juga agar Ende dijauhkan dari bencana, disuburkan alamnya, dan masyarakatnya sejahtera. Soalnya, pada tahun 1996 seorang wisatawan laki-laki asal Belanda tewas di Danau Kelimutu. Tahun 2004 warga Desa Pemo, desa terdekat dengan Danau Kelimutu, bunuh diri di danau tersebut. Akhir tahun 2008 juga ditemukan seorang warga Desa Tenda di danau Tiwu Nua Muri Koo Fai. Semua jasad korban tak dapat dievakuasi, tetap di tempat mereka meregang nyawa.

Pere Konde :

Dari mitos yang diyakini turun-temurun, Danau Kelimutu merupakan tempat tinggal atau berkumpulnya arwah. Pintu gerbang (Pere Konde) Danau Kelimutu dijaga oleh Konde Ratu, sang penguasa.

… beberapa hal yang menurut saya perlu diperbaiki / ditingkatkan adalah tentang pelaksanaan ritual yang sangat singkat hahaha. Tapi kalau itu sudah default, yaaa … default. Terus atraksi-nya bisa ditambah lagi. Nah, karena pihak Balai Taman Nasional Kelimutu telah menyediakan lokasi untuk berjualan, yang dijual seharusnya lebih banyak hasil kerajinan tangan masyarakat yaaah. Juga itu … kenapa tidak ada para Ibu yang sedang menenun? Bukankah bagus sekali jika kita bisa menyaksikan langsung proses menenun tradisional untuk menghasilkan maha karya lembaran tenun ikat yang keren itu? Mungkin sih bisa dipertimbangkan hehehe *sape lu, The?* :D

Demikian cerita saya tentang ritual ‘Pati Ka Ata Mata’. Semoga tahun depan bisa ke menyaksikannya lagi. Amin.

Wassalam.

5 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. Ritual adat selain sebagai sebuah kearifan lokal juga dapat menjadi nilai ekonomis yang tinggi jika dikemas dengan baik.

    BalasHapus
  2. Kakak, boleh share video saat Gawi ko? Saya penasaran kepingin liat Gawi yang versi asli... :)

    BalasHapus
  3. Keren...
    Menyesal sekali karena tidak bisa ikut. Semoga taon depan bisa ikut.

    BalasHapus
  4. Judulx jgn dipotong donk adq synk ritual ''''pati ka du'a bapu ata mata''''

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak